Atajularifin's Blog

Just another WordPress.com site

FIQIH LINTAS AGAMA; Respon Ulama Solo Terhadap Pernikahan Beda Agama

ABSTRAK

Ketentuan hukum perkawinan antaragama telah dinyatakan secara  tegas  dalam Al-Qur’an. Paling tidak ada tiga mainstream pemikiran dalam masalah ini. Pertama mengharamkan secara mutlak perkawinan beda agama. Kedua, membolehkan dengan syarat tertentu. Ketiga membolehkan tanpa syarat. Ketiga pendapat ini merupakan hasil interpretasi terhadap QS. al-Maidah (5): 5, QS. al-Baqarah (2): 22, dan QS. al-Mumtahanah (60): 10.

Namun demikian, perkawinan beda agama tidak saja dapat difahami secara normative-teologis belaka, karena masalah ini terkait erat dengan factor-faktor sosiologis-kultural. Perkawinan beda agama di Indonesia (Inter-Faith Marriage) secara objektif-sosiologis adalah sesuatu yang wajar, mengingat penduduk Indonesia sangat pluralistic, baik dari segi suku, etnis, budaya, bahasa maupun agama, sedangkan pergaulan dan interaksi antar berbagai komunitas sangat intens, bebas dan terbuka. Sehingga, sangat besar kemungkinan  terjadinya ketertarikan dan saling jatuh cinta antara dua insan yang berbeda tersebut.

Begitupun dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, secara eksplisit mengindikasikan bahwa perkawinan beda agama tidak dikehendaki di Indonesia. Ini terlihat dalam beberapa pasal seperti pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) UU No. 1 Tahun 1974. Begitupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku I tentang perkawinan yaitu pasal 40, 44, dan 60. Ini menandakan kurangnya sensitivitas para pembuat kebijakan pada factor sosiologis.

Dalam penelitian yang berjudul Fikih Lintas Agama: Respon Ulama’ Solo terhadap Perkawinan Beda Agama ini, penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan cara  pengamatan (observasi), wawancara (interview) secara bebas terhadap sumber-sumber yang telah ditentukan, dan pemanfaatan atau penelaahan dokumen.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemahaman baru tentang aturan perkawinan antar agama baik dalam nas maupun dalam perundang-undangan di Indonesia, yang lebih penting lagi spesifikasi lokus dalam penelitian ini akan menelurkan pendapat secara social, untuk menghadapai realitas yang terjadi dalam multikulturalisme agama pada daerah yang banyak terjadi perkawinan beda agama. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ternyata perkawinan beda agama di Solo merupakan fenomena yang benar-benar nyata, mengingat kultur pluralistic kota ini. Banyaknya budaya, etnis dan agama menjadi factor dominan penyebab banyaknya terjadi penikahan beda agama. Namun yang menarik berdasarkan wawancara terhadap salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Solo, bahwasannya ijin untuk melakukan perkawinan beda agama seringkali terjadi tetapi untuk perceraian yang berbeda agama belum pernah terjadi. Di samping itu juga untuk mengembangkan hasil penelitian sebelumnya yang mengkaji perkawinan antar agama secara tematik, dengan eksplorasi dan pengembangan itu tentunya bias ditemukan beberapa penemuan dan pemahaman baru tentang sebab-sebab perkawinan antaragama di larang, baik dalam nas maupun perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Penemuan baru tentunya bias menjadi sumbangan ilmiah bagi pengembangan studi fiqh, tafsir, maupun peraturan perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Sedangkan pemahaman baru diharapkan dapat berguna untuk menghilangkan salah paham mengenai pandangan antara boleh atau tidak dalam persoalan ini.

Sedangkan mengenai respon yang diberikan beberapa ulama’ di solo terhadap persoalan ini, hampir semua jawaban yang penulis dapatkan sangatlah normative. Karena bagi mereka persoalan product hukum agama haruslah difahami secara leterlek saja, karena keputusan Tuhan yang ada dalam Al-Qur’an merupakan keputusan final dalam persoalan apapun kecuali jika belum secara jelas tertera.

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan seks (libido seksualitas). Oleh karena itu, Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan hasrat biologis tersebut. Kalau hanya itu, tujuan perkawinan memiliki nilai yang sama dengan perkawinan yang dianut biologi, yaitu mempertemukan jantan dan betina untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi generasi.

Perkawinan merupakan salah satu cara bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan uantuk saling menghargai, saling menyayangi dan saling melindungi, juga saling memberi dan berbagi, mendapatkan hak-haknya dan tidak enggan menjalankan kewajibannya. Kata munakaha>t yang dimaknai perkawinan, selalu mengandung interaksi dua orang atau lebih, sebab perkawinan tidak pernah terjadi pada pelaku tunggal, selamanya pasti melibatkan pasangan yang berlainan jenis kelamin untuk membentuk keluarga.[1] Sebuah keluarga dapat dikatakan sakinah, apabila baik istri maupun suami merasakan kebahagiaan. Maka sebuah keluarga belum dapat dikatakan sakinah apabila yang merasakan kebahagiaan hanya salah satu dari pasangan tesebut. Selain itu salah satu tujuan syari’at Islam adalah memelihara kelangsungan keturunan melalui perkawinan yang sah secara agama, diakui undang-undang dan diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat.[2]

Tujuan perkawinan yang terdapat dalam al-Qur’an adalah: mencapai kehidupan sakinah, mawadah dan rahmah, pemenuhan kebutuhan biologis, regenerasi, menjaga kehormatan, ibadah,[3] dan menjalin hubungan kekeluargaan. Hukum perkawinan Islam dibangun untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dengan pernikahan tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah segala sesuatu yang merupakan kebaikan atau yang menyebabkan timbulnya kebaikan dan bukan merupakan sebuah kemudaratan atau sesuatu yang menolak munculnya berbagai kemudaratan di dalam kehidupan perkawinan bagi pihak yang bersangkutan dan bagi masyarakat di sekitarnya.[4]

Setelah melihat tujuan perkawinan, maka kita menemukan adanya tujuan untuk mencapai kehidupan sakinah, mawadah dan rahmah serta menjaga kehormatan, seperti yang tertulis dalam ar-Rum (30): 21.

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Perekat perkawinan diantaranya adanya rasa cinta kasih dan kesetiaan. Dalam ayat tersebut dikatakan mawadah wa rahmah. Mawadah maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan yaitu kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dengan demikian kata ini mengandung makna cinta. Dalam hati mawaddah tidak akan memutuskan hubungan seperti yang biasa terjadi pada orang yang bercinta. Sedangkan rahmah adalah kondisi psikologi yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya.[5] Cinta yang dilukiskan dengan kata mawaddah harus terbukti dalam sikap dan perbuatan, sedangkan rahmah tidak harus demikian. Selama rasa perih ada di dalam hati terhadap objek, akibat penderitaan yang dialaminya sekalipun ia tidak dapat mengatasi atau mengurangi penderitaan objek- maka rasa perih itu saja sudah cukup untuk menunjukan seseorang itu memiliki sifat pengasih.[6]

Kemaslah}atan perkawinan juga berarti segala sesuatu yang digunakan untuk meraih maqa>s}id al-syari>’ah dari perkawinan, baik yang bersifat as}liyyah atau tabi’ah, dan d}aruriyyah, mukmilah d}aruriyyah, hajiyyah maupun mukmilah hajiyyah. Kemaslahatan perkawinan yang termasuk ke dalam as}liyyah adalah meneruskan keturunan yang merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu al-ushu>l al-khamsah[7] yang berupa al-nasl. Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat tabi’ah adalah mencari ketenangan (sakinah), membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa al-rahmah), menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan sebagainya yang merupakan penjagaan tidak langsung terhadap aspek al-nasl.[8]

Kemaslahatan perkawinan yang berupa meneruskan keturunan tersebut juga berarti maslah}ah d}aruriyyah. Kemaslahatan perkawinan yang berupa penyaluran biologis secara benar (menolak zina) merupakan mukmilah al-d}aruriyyah. Sedangkan kemaslahatan yang berupa kelanggengan ikatan perkawinan, keharmonisan rumah tangga, saling berbagi kasih sayang, ketenangan dan cinta adalah maslah}ah hajiyyah.[9]

Pertanyaannya kemudian untuk mencari kemaslahatan dalam ikatan perkawinan apakah juga harus terbatas pada keyakinan atau agama yang sama? Inilah yang menjadi topic utama dalam penulisan tesis ini, yang akan dijawab secara luas baik dalam tela’ah teks maupun pendapat para cendekiawan di lokasi penelitian yang menjadi locus penulis.

Terdapat perbedaan dikalangan ulama tentang perkawinan beda agama. Sebagian ulama membolehkan tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkan. Ulama juga berbeda pendapat terhadap cakupan ahli kitab, di mana laki-laki muslim diperbolehkan mengawini golongan mereka.[10]

Golongan ulama yang mengharamkan perkawinan laki-laki muslim dan wanita ahli kitab, disebabkan oleh pandangan mereka bahwa wanita ahli kitab mempunyai kedudukan yang sama dengan wanita mus}rik. Padahal baik laki-laki maupun wanita muslim dilarang menikah dengan orang-orang mus}rik.[11] menurut golongan ini, ahli kitab mempunyai kedudukan yang sama dengan orang mus}rik, karena orang-orang ahli kitab juga mempertuhankan orang alim mereka, rahib-rahib dan  mengakui bahwa Uzeir atau Isa sebagai putera Allah.[12]

Ibnu umar termasuk golongan yang mendukung pendapat ini. Menurutnya, Allah mengharamkan wanita mus}rik bagi laki-laki muslim. “aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar dari seorang perempuan yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Isa”.[13]

Dalam konteks Indonesia, aturan mengenai pernikahan beda agama sudah ada sejak zaman pra kemerdekaan.[14] Pasca kemerdekaan aturan mengenai pernikahan beda agama dapat dijumpai pada UU perkawinan No. 1 tahun 1974, meskipun tidak secara expresif verbis UU ini juga melarang terjadinya kawin beda agama. Aturan yang lebih rigid, dapat ditemukan dalam Inpres No. 1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI).[15] Sementara MUI menegaskan larangan pernikahan beda agama di Indonesia melalui fatwa tahun 1980 dan tahun 2005 sampai pada level pengharaman.

Larangan ini disebabkan oleh terjadinya dinamika social, kebutuhan komunitas muslim untuk memelihara kohesi social dan integritas ummatnya.[16]  Larangan oleh suatu ketentuan yang oleh nas diperbolehkan dengan pertimbangan mafsadah lebih besar dari kalangan maslah}ah dalam kajian Ushu>l al-Fiqh disebut Sadduzzari’ah (tindakan preventif). Perubahan hukum dikarenakan perubahan keadaan dan dinamika social itu bisa jadi terjadi sesuai dengan kaidah hukum Islam (qawa’idul al-Fiqhiyyah) . “tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman dan tempat”.[17]

Wahbah al-Zuhairi menambahkan, di samping alasan di atas, dilarangnya perkawinan beda agama, karena mereka orang-orang non-muslim, mengajak ke neraka.[18] Kepercayaan-kepercayaan musyrik dikhawatirkan akan mempengaruhi laki-laki dan wanita muslim dengan menimbulkan berbagai macam keraguan dan kesesatan. Dengan demikian kekhawatiran akan adanya pengaruh negatif terhadap keimanan seseorang merupakan sebab dilarangnya perkawinan beda agama di Indonesia.

Adapun jumhur ulama’ berpendapat bahwa laki-laki muslim diperbolehkan menikah dengan wanita ahli kitab.[19] Menurut mereka lafazh musyrikah tidak mencakup ahli kitab. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 105 dan al-Bayyinah (98): 1 dan 6.

Pernikahan  beda agama sebagai fakta social bukanlah isu baru, namun secara historis pernikahan beda agama ini telah terjadi dikalangan tokoh-tokoh Islam sjak zaman nabi Muhammad saw, kemudian masa sahabat, tabi’in, hingga masa-masa berikutnya dan berlanjut hingga sekarang.[20] Lebih-lebih dalam konteks masyarakat plural dalam etnis, budaya, dan agama seperti di Indonesia, perkawinan beda agama menjadi sebuah fakta yang wajar dan sangat mungkin terjadi.

Perbedaan-perbedaan pendapat ini menjadi merupakan sesuatu yang sangat wajar terjadi di dunia akademisi. Maka dari itu penulis mencoba untuk mengangkat kembali persoalan ini dalam bentuk kajian tesis. Yang akan menjadi objek dari kajian ini adalah ulama’ yang ada di Solo. Mengapa di Solo? Karena kota ini telah terstigma sarang teroris, dam terorisme sangat kental dengan pemahaman yang fundamental. ini diakibatkan oleh banyaknya tersangka teroris yang berada atau berasal di kota ini. Dalam Suara Merdeka edisi 18/9/2009 tertulis;

BELAKANGAN Kota Solo kembali mencuri perhatian seiring dengan penggerebekan teroris Noordin M Top Bagus Budi Pranoto alias Urwah, Ario Sudarso alias Aji alias Suparjo Dwi Anggoro, dan Susilo alias Adib di  Kampung Kepuhsari RT 03 RW 11, Kelurahan  Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo. Sebelumnya dua warga Solo, yakni Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono (keduanya warga Brengosan-Solo) ditembak oleh Tim Densus 88 di Bekasi karena di duga terkait jaringan teroris di Tanah Air termasuk peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009 lalu di Jakarta. Bahkan sejumlah pelaku peledakan bom di Tanah Air yang tertangkap, seperti Amrozi Cs pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo, sebuah kawasan di perbatasan Kota Solo.  Ini seolah menjadi bukti dan legitimasi politik, bahwa Solo dan sekitar merupakan daerah basis pengaderan teroris atau setidak-tidaknya tempat persinggahan teroris. Jika dibiarkan Solo mungkin tak lagi dikenal sebagai kota budaya (The Spirit of Java), melainkan justru sebagai Kota Teroris.  Secara geopolitik Solo dan sekitar adalah wilayah yang memiliki ratusan institusi pondok pesantren (ponpes) baik tradisional (as-salafi) maupun modern (al-’ashri) yang jumlah santrinya ribuan dan berasal dari hampir seluruh Nusantara. Wajar saja, jika publik Solo terutama para pengasuh ponpes merasa cemas akan stigmatisasi sebagai daerah basis gerakan terorisme. Sebutlah misalnya Ponpes al-Mukmin Ngruki kini tengah dibidik sejumlah kalangan untuk dikait-kaitkan dengan kegiatan teroris, bahkan diisukan memiliki bunker senjata. Tokoh ponpes ini Ustaz Abu Bakar Ba’asyir pernah menjalani hukuman akibat dugaan sebagai penyulut gerakan terorisme dan terkait dengan organisasi Jamaah Islamiyah.[21]

Maka kesan fundamental sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat Solo. namun secara politis, yang sangat mencengangkan adalah, seharusnya partai yang sesuai dengan aliran ini adalah partai semacam PKS, namun justru PDI Perjuangan yang notabene partai nasionalis, dengan ideology yang jauh dari Islam justru menjadi partai dengan suara terbanyak pada pemilu 2009 kemarin.[22] Bahkan walikota Solo, Joko wi yang mendapat dukungan penuh dari  partai PDI Perjuangan menjabat dua kali periode, dengan perolehan suara yang signifikan dengan mengalahkan kandidat dari keraton Surakarta, pada pemilihan walikota Solo dengan perolehan suara hingga 90,06%.[23]

Ini yang menjadi menarik bagi penulis untuk diteliti kembali, apakah benar kesan fundamental itu benar adanya di Solo, padahal secara politis justru bertolak belakang. Lalu bagaimana pendapat kyai atau ustadz yang ada di Solo terhadap pernikahan beda agama? Akankah seragam?. Dalam penelitian ini penulis tidak dalam rangka menjustifikasi terhadap salah satu alasan yang pro ataupun kontra terhadap pernikahan beda agama, tetapi lebih pada penelitian objektif terhadap hasil dari setiap pendapat-pendapat ulama’ Solo saja. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang yang telah terinci, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dalam bentuk  tesis tentang Fikih Lintas agama; respon ulama’ Solo terhadap Perkawinan Beda Agama.

  1. Pokok Masalah

Berdasarkan latar belakang  masalah di atas, maka untuk mendapatkan hasil yang terarah dalam penelitian ini maka dirumuskan beberapa pertanyaan:

  1.  Bagaimana kondisi kota Solo, baik dari segi social, budaya, agama dan lain-lain?
  2.  Bagaimana pengaturan perkawinan beda agama dalam perundang-undangan di Indonesia?
  3.  Bagaimana respon ulama’ di Solo terhadap perkawinan Lintas Agama?
  1. C.     Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan pokok masalah sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keadaan kota Solo yang telah diklaim fundamental, baik dari segi social, budaya, politik, agama dan lain-lain. Selain itu juga berupaya menjelaskan argument-argument yang ada dalam buku fiqih lintas agama, serta menjelaskan secara tuntas respon ulama’ yang ada di Solo terhadap perkawinan lintas agama.

Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah diharapkan untuk dapat memberikan konstribusi pemikiran bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam wilayah kajian hukum Islam, dan juga sebagai informasi terhadap peneliti selanjutnya baik bagi mahasiswa, institusi ataupun lembaga-lembaga terkait ataupun pihak-pihak lain yang membutuhkan.

  1. D.    Telaah Pustaka

Banyak sekali penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, mengenai pembahasan perkawinan beda agama, yang membedakan dengan penelitian ini adalah lokus penelitian dan objek sasaran dari penelitian tersebut. Dan diantara penelitian terdahulu sebagai berikut:

Rusli dan R. Tama, perkawinan antar-agama dan masalahnya (1984). Buku ini membahas problematika pelaksanaan perkawinan antar-agama di Indonesia. Menurutnya, sahnya perkawinan antar-agama adalah hal yang rumit dan kabur, karena tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-undang perkawinan no. 1 Tahun 1974.

Asmin, status Perkawinan antar-agama, ditinjau dari Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974, (1986). Buku ini membahas tentang tidak adanya peraturan yang eksplisit tentang perkawinan antar-agama di dalam Undang-Undang perkawinan No. 1 tahun 1974, bias menimbulkan beberapa  interpretasi. Diantaranya, perkawinan antar-agama memeang tidak dikehendaki dalam tata hukum perkawinan di Indonesia, atau berdasarkan pasal 66 no. 1 Tahun 1974, peraturan perkawinan antar-agama didasarkan pada Peraturan Perkawinan Campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken S.1898 No. 158). Namun Peraturan Perkawinan Campuran itu tidak sejalan dengan semangat Undang-undang No. 1 tahun 1974. Ia mengusulkan supaya dibuat aturan yang eksplisit tentang peraturan perkawinan antar-agama, karena menurutnya, peraturan perkawinan antar-agama di Indonesia yang masyarakatnya majemuk, tidak bias dihindari

O.E Eoh,  Perkawinan antar-agam dalam teori dan Praktek (1996), mengemukakan bahwa perkawinan antar-agama bias dilaksanakan berdasarkan pasal 66 Undang-undang Perkawinan  No. 1 tahun 1974, sehingga tidak diperlukan lagi aturan perkawinan antar-agama.

Ibrahim Hosen, Perkawinan Muslim dan Non Muslim, dimuat dalam Mimbar Ulama th. II November/Desember 1977. Artikel tersebut membahas perkawinan antar-agama menurut hokum islam. Menurutnya perkawinan antar-agama tidak diperbolehkan, berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an, hadis nabi dan pendapat ulama klasik.

Syukri ghozali, Perkawinan Campuran (1977) dimuat dalam Mimbar Ulama  Th. II November/Desember 1977. Artikel ini membahas tentang hukum perkawinan campur. Sejalan dengan Hosen, Ghozali berpendapat demi kemaslahatan perkawinan, perkawinan campuran dilarang.

Bismar Sirehgar, makna izin Hakim dalam perkawinan campuran, dimuat dalam panji masyarakat No. 456 Tahun 1985. Membahas bahwa perkawinan campuran sesungguhnya tidak dikehendaki oleh UU. No. 1 tahun 1974. Akan tetapi pasal 22 ayat 3 dan 4, bisa digunakan sebagai alat untuk menyiasati pengesahan perkawinan campuran , yaitu dengan membawa surat penolakan pegawai pencata perkawinan. Untuk itu hakim dianjurkan untuk menyadarkan pihak yang akan melangsungkan poerkawinan campuran, sebelum ia mengambil keputusan.

Mohamad Daud ali, “ Perkawinan campuran (Antar Orang-orang Berbeda agama)” dalam Hukum Islam dan Peradilan Agama  (Kumpulan Tulisan). Artikel tersebut membahas pandangan agama-agama tentang perkawinan campuran, fatwa MUI serta Kompilasi Hukum Islam. Sebagaimana Bismar Siregar ali berpendapat perkawinan antar-agama tidak dikehendaki oleh UU No. 1 Tahun 1974.

Tahun 1992 Munawir Syadzali, -ketika itu Menteri agama- mengemukakan gagasan perlunya dibuat peraturan perkawinan antar-agama. Menurutnya, perkawinan antar-agama adalah fakta yang real di masyarakat. Oleh karena itu \, peraturannya harus jelas, untuk menghindari kumpul kebo. Pernyataan Munawir itu segera menjadi polemic di media massa. Diantara artikel-artikel itu bias disebut sebagai berikut:

Bismar Siregar, Perkawinan Antar-agama tidak Dibenarkan, dalam pelita, 8 januari 1992 dan Tak Ada Kebebasab Menikah menurut Pilihan antar-Agama dalam kompas 18 Januari 1992. Syaefurrahman Al-Banjary, Masalah Perkawinan Antar-Agama : Kantor Catatan Sipil Dalam Dilema, dalam Pelita 8 Januari 1992. J.Z. Loudoe, perkawinana Antar-Agama tidak dilarang, dalam pelita 30 januari 1992. Weineta seirin, Masalah Pelaksanaan Undang-Undang perkawinana dan Pelayanan Gereja, dalam suara pembaruan 30 januari 1992, dan lain-lain. Inti tulisan itu secara garis besar adalah apakah dibenarkan atau tidak perkawinan antar-agama  dalam tata hokum perkawinan di Indonesia, yaitu No. 1 tahun 1974.

Tutik Hamidah, Tesis; Peraturan Perkawinan antar-agama di Indonesia ( Perspektif Muslim), program pasca sarjana  IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2000. Dalam tesis ini Tutik menitikberatkan pembahasannya dalam rangka mengungkap pertalian kausalitas antara peraturan perkawinan antar-agama id Indonesia dengan kondisi hubungan antar-agama di Indonesia terutama islam dan Kristen. Lebih jauh Tutik mengatakan  bahwa peraturan perkawinan antar-agama di Indonesia tidak hadir begitu saja dalam ruag kosong, tetapi dipengaruhi oleh situasi dan kondisi kehidupan social, keagamaan (hubungan antar-agama) dan politik pada saat peraturan tersebut dibuat.

Ahmad Sukarja, dalam perkawinan Beda Agama Menurat hukum Islam, yang dimuat dalam buku problematika hukum Islam kontemporer, (editor): Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari AZ, dalam tulisannya Sukarja mengatakan bahwa berdasarkan (dzhair) nash al-Qur’an QS.al-baqarah {{[2]:221 dan QS, al-Maidah [5]:5 serta hadis Nabi Saw pendapat para sahabat dan ulama, secara tegas dinyatakan haram hukumnya wanita muslim kawin dengan laki-laki Musyrik (termasuk laki-laki beragama Kristen, yahudi dan agama lainnya). Sedangkan mengenai laki-laki muslim, berdasarkan Qs. Al-baqarah dan QS, al-maidah diatas, dan adanya kenyataan historis dua orang sahabat yaitu Huzaifah bin Sulaiman dan Thalhah bin Ubaidiyah yang kawin dengan perempuan Ahli Kitab, menurut Sukarja, dibolehkan kawin dengan perempuan ahli Kitab dan diharamkan kawin dengan perempuan musyrik. Tetapi karena dikhawatirkasn perkawinan beda agama akan mendatangkan mudharat bagi laki-laki muslim dan keturunanya kelak, maka diambil (ijtihad) kesimpulan mengharamkan perkawinan beda agama tersebut dengan pertimbangan lissad al-zari’ah.

Mun’im A, Sirry (editor), Fiqih Lintas Agama: membangun masyarakat inklusif Pluralis, mengagas perlunya dilakukan ijtihad kontemporer dalam hal perkawinan beda agama yang mengacu pada konteks social yang ada. Dengan melakukan pengkajian yang lebih mendalam dan kritis terhadap nash al-Qur’an dan hadis Nabi serta pendapat ulama klasik, dan dengan membaca semangat zaman yang terus menggeliat dengan kepastian perubahan padanya, maka perkawinan beda agama  harus bias di –response dalam semangat perubahan zaman (konteks) tersebut dan tidak semata-mata dilihat dari perspektif teks.

Muhamad Ali, dalam Fatwas on Inter Faith Marriage in Indonesia, dimuat di STUDIA ISLAMIKA: Indonesia journal for Islamic studies. Vol.9 No. 3, 2002, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis utama dalam artikel Muhamad Ali ini adalah bahwa sejak tahun 1960-an hingga tahun 1990-an fatwa-fatwa perkawinan  beda agama tidak mengalami perubahan dan fleksibilitas yang signifikan. Seluruh fatwa ini mennolak perkawinan beda agama, meskipun dengan alas an-alasan yang berbeda,. Fatwa pertama tentang isu ini adalah fatwa NU yang dikeluarkan pada tahun 1962. Fatwa yang sama dikeluarkan lagi pada tahun 1968 dan kemudian tahun 1989. MUI Jakarta mengeluakan fatwa beda agama pada tahun  1986, MUI Jakarta mengeluarkan surat public yang menegaskan kembali larangan perkawinana beda agama dalam situasi apapun, fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI terkait erat  denagn kontroversi Undang-Undang Perkawinan 1974.

Mengapa fatwa-fatwa tersebut ternyata tidak fleksibel dan tidak berubah.? Salah satu penjelasannya adalah bahwa pertemuan antara satu komunitas (muslim) dan komunitas lain terjadi pada dua lapisan: lapisan sosio-politik dan interaksi antara gagasan dan praktik keagamaan. Hukum Islam muncul tidak dalam historical vacuum, ia berada dalam  dalam sosio-politik.

  1. E.     Kerangka Teoretik

Quraish Shihab dalam bukunya Menabur Pesan Illahi, Al-Quran dan Dinamika kehidupan Masyarakat, menjelaskan bahwa masa merupakan arus deras dan melaju tanpa dapat dibendung. Perubahan adalah keniscayaan. Manusia hanya mempunyai dua pilihan, mandek hingga tergilas dan mati atau maju bersamanya tanpa melepaskan pelampung yang melindunginya.[24] Maksud dari pilihan yang kedua ini adalah bukan berarti meninggalkan sama sekali apa yang telah dihasilkan oleh para pendahulu, tetapi tetap mempertahankan metode yang telah mereka ciptakan walau dengan sedikit revisi.

Memang sangat disayangkan ketika arus globalisasi semakin menggelora, masih saja didapatkan aliran-aliran radikal ataupun fundamentalis yang selalu saja menjadi penyakit penghambat untuk berkembangnya pola fikir yang merdeka dan bertoleransi. Aliran ini sangatlah intoleran dan eksklusif [25] terhadap pemikiran-pemikiran baru, dan selalu saja melahirkan produk hukum yang otoriter[26] (meminjam istilah Khaled M, Abu el-Fadl).  Ini sangat bertentangan dengan Alqur’an sebagai kitab suci umat Islam, walaupun taken for granted[27] tapi Al-Qur’an merupakan fundamen toleransi.[28] Artinya, umat Islam adalah umat pilihan Tuhan yang diperintahkan agar menjadikan toleransi sebagai nilai fundamental. Bila umat Islam berhasil membangun, maka akan mampu membangun peradaban kemanusiaan yang berdasarkan dialog dan saling pengertian. Sebaliknya, bilamana umat Islam menebarkan kekerasan dan claim-claim otoriter atas nama Tuhan, maka yang akan terjadi adalah kehancuran dan kegagalan.

Islam merupakan agama yang mengakomodir pelbagai kebutuhan manusia serta tidak memberikan kesulitan bagi semua pengikutnya dalam melarapkan hukum-hukmnya sebagaimana disinyalir dalam Al-Qur’an وماجعل عليكم في الدين من حرج (dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama kesempitan). Dengan kata lain, Islam menghendaki terciptanya kemaslahatan seluruh umat manusia tak terkecuali, hanya yang membedakan mungkin dari sisi konsekuensi (balasan) dan perlakuan terhadap orang-orang di luar Islam.[29]

Untuk itu dalam memahami nas yang telah disyari’atkan, harus dibedakan antara nas yang normative dengan nas yang sosiologis. yang pertama merupakan nas yang bersifat umum dan berisi prinsip-prinsip dasar yang tidak tergantung pada konteks, sedangkan yang kedua merupakan nas yang bersifat khusus dan kasuistik, yang mana pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks yang merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang muncul ketika masa pewahyuan.[30]

Formulasi hukum yang dilakukan oleh para fuqaha dan mufassirun dalam memahami nas} juga penuh dengan historisitas. Berbagai upaya dilakukan untuk memperoleh suatu ketentuan hokum yang lebih tepat untuk diterapkan dalam suatu masyarakat yang tentu saja berbeda dengan situasi dan kondisi ketika wahyu diturunkan. Sampai akhirnya mereka menemukan suatu metode yang dianggap lebih merespon tuntutan zaman yaitu metode tematik (maudu’i)[31] dan holistic[32] yang lebih dikenal dengan metode induksi tematik dalam bahasa al-Gaza>li> dan al-Sya>t}ibi>.[33]

Dalam hal perkawinan antar agama, maka prosedur dan tahap penggunaan tematik-holistik adalah Pertama, mengumpulkan semua ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW yang berhubungan dengan masalah perkawinan antar agama, yang hal ini tidak terlepas dari tujuan perkawinan. Kedua, seluruh ayat didiskusikan dengan metode tematik dengan pendekatan sejarah, baik dalam arti makro yaitu sejarah pra-Islam dan semasa pewaahyuan dalam arti mikro yakni kasus yang menjadi latar belakang turunnya nas}. Ketiga, hasil rumusan keduan dipantulkan dan dinilai sesuai dengan prinsip al-Qur’an yang dalam hal ini interaksi muslim dengan non muslim.

Di Indonesia, boleh tidaknya perkawinan antar agama yang tertuang dalam ketentuan perundang-undangan, tentunya sangat dipengaruhi oleh factor kekuasaan yang berwenang serta kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu, penelitian ini juga teori sinkronik.yaitu melihat kontekstualisasi atau sosiologi kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti,[34] dan teori konflik dalam ilmu social yang menyatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari segala hubungan social, dengan menggunakan nilai dan gagasan-gagasannya sebagai senjata untuk melegitimasi kekuasaan.[35]  Teori-teori ini akan tampak ketika pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Soeharto berhasil mengesahkan beberapa undang-undang yang berkaitan dengan agama seperti undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, Undang-undang Pengadialan agama No. 7 Tahun 1989 dan mengeluarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mana dalam isu yang telah berkembang product undang-undang ini sebagai pengalih perhatian untuk mengambil hati umat islam yang telah mulai kritis terhadap pemerintahan pada saat itu.

Dalam kaitannya dengan kepentingan dan kekuasaan, ada tiga teori yang menyatakan hubungan agama dan Negara yang selama ini telah berlangsung, yaitu hubungan integrative yang menyatakan bahwa lembaga Negara adalah lembaga yang diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (devine sovereignity), teori hubungan simbiotik bahwa agama dan Negara bekerjasama secara adil dalam wilayah yang dapat dibicarakan oleh para pelaku keduanya, dan teori hubungan sekularistik, yang menyatakan bahwa Negara tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama.[36]

  1. F.     Metode Penelitian

Ada empat segi dari metode penelitian ini yaitu pendekatan penelitian, metode pengumpulan data serta subyek penelitian, dan metode analisis data.

1. Penelitian ini berusaha memahami-dengan menggunakan pemahaman dan interpretasi tentang Respon ulama’ di Solo terhadap pernikahan lintas agama. Dengan karakter seperti itu, penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

2. Metode pengumpulan data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan “metode kualitatif”, yaitu pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan pemanfaatan atau penelaahan dokumen.[37] Metode ini meletakkan manusia, yakni peneliti sendiri atau orang lain yang membantunya, sebagai instrumen utama sehingga tindakan penyesuaian yang perlu segera diambil dalam kaitannya dengan kenyataan-kenyataan di lapangan menjadi sangat mungkin dilakukan.

Selanjutnya, karena penelitian kualitatif ini berlatar alamiyah dan menekankan aspek subyektif dari prilaku orang sehingga peneliti akan berhadapan dengan kenyataan-kenyataan jamak di lapangan, maka diperlukan kerja pengumpulan data yang cermat dan mendalam. Untuk itu kerja pengamatan dilakukan secara berperan serta (participatory observation), kerja wawancara dilakukan secara “mendalam“ (depth interview), dan penelaahan dokumen dilakukan dengan secermat mungkin dan sejauh bisa diupayakan dari data asli.

a. Jenis data

Data adalah segala fakta dan angka yang dijadikan bahan untuk menyusun informasi. Informasi tersebut dapat berupa keterangan langsung, sebagai pengalaman yang berkaitan dengan data tertulis, baik berupa berkas perkara atau keterangan dari informan sendiri atau hanya merupakan keterangan yang bukan pengalaman secara langsung.

Dalam penelitian ini, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu jenis data primer dan jenis data skunder.[38]  Data primer yaitu data yang diperoleh dari secara langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya,[39]  dan juga data dari hasil wawancara langsung dengan pihak terkait menggunakan metode pertanyaan (quesioner) kepada ulama’ di Solo mengenai respon mereka terhadap pernikahan beda agama.

Sedangkan data sekunder adalah data yang diambil untuk dilaporkan dan dikumpulkan dari orang luar yang berkaitan dengan penelitian ini, baik secara lisan maupun dari data hasil kepustakaan.

Selain dari data-data tersebut, ada juga yang diambil dari bahan pustaka sebagai data primer dan sekunder. Sebagai data primer, apabila data pustaka tersebut membahas tentang sesuatu yang ada kaitannya dengan pokok persoalan yang tertuang dalam judul yaitu tentang respon ulama’ di Solo terhadap perkawinan lintas agama. Data pustaka yang disebut sebagai data sekunder adalah bahan pustaka yang berkapasitas sebagai data pelengkap.

b. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian, sumber data atau yang sering disebut informan, merupakan suatu hal yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Sering kali orang cenderung mengabaikan akan keberadaan informan terutama key informan yang akan disajikan sebagai sumber data, sehingga data yang diperoleh menjadi kurang signifikan dan kurang valid. Sedangkan sumber data  dalam penelitian ini adalah lembaga-lembaga organisasi masyarakat (ormas) Islam di solo yang sering kali mengadakan pengajian mingguan dan sangat berpengaruh terhadap ideology keislaman masyarakat Solo yang terkenal fundamental. Di antaranya adalah Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), Jamaah Anshor at-Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hidayatullah.

3. Subyek penelitian

Subyek penelitian ini adalah para Ormas (organisasi masyarakat) Islam yang berkompeten di Solo untuk menjawab berbagai hal tentang pernikahan beda agama.

Dipilihnya Solo sebagai lokasi penelitian karena kota ini sudah terlanjur dianggap sebagai kota dengan pemahaman keberagamaan yang fundamental, selain itu sering kali teroris yang tertangkap berasal dari kota ini. Penulis ingin membuktikan apakah pendapat-pendapt untuk salah satu kategori hukum Islam, akankah seragam fundamental.

4. Metode analisis data

Untuk mengartikulasikan pemahaman, data yang dihasilkan lewat pengamatan, wawancara, dan kajian dokumen dianalisis secara induktif. Sebab, sebagaimana kata Moleong, analisis induktif lebih dapat menemukan kenyataan jamak seperti yang terdapat dalam data. Juga lebih dapat membuat hubungan peneliti-informan eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel; lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat atau tidaknya dilakukan pengalihan pada latar lainnya; lebih dapat menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan; dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit sebagai bagian dari struktur analitik.[40]

  1. G.    Sistematika Pembahasan

Dalam sistematika pembahasan ini, agar pembahasan tiap bab akan terarah dan sistematis, maka akan disusun beberapa bab, yang mana nantinya tiap bab tersebut akan berkaitan dan saling berkesinambungan.

Bab pertama adalah pendahuluan, sebagai gambaran awal tentang pembahasan dalam penelitian ini. Bab ini berisikan latar belakang masalah yang isinya menggambarkan alasan penulis mengambil tema penelitian (academic problem), pokok masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka sebagai gambaran posisi penyusun, kerangka teori sebagai pijakan berfikir dan menganalisa masalah, metode penelitian dan sistematika pembahasan untuk mengarahkan kepada substansi penelitians.

Bab dua, karena penelitian ini merupakan penelitian lapangan, maka menjadi penting kiranya untuk diketahui gambaran secara singkat tentang Solo sebagai locus dari penelitian ini. Baik itu sejarah, kondisi social yang meliputi agama, budaya, ras dan lain-lain.

Bab tiga, setelah menggambarkan lokasi penelitian tersebut, maka dalam bab selanjutnya ini dijelaskan mengenai perkawinan beda agama dalam prespektif undang-undang di Indonesia. Ini dibutuhkan karena pembahasan masalah ini tentunya tidak luput dari persoalan peraturan yang ada di Indonesia, yang mana setiap daerah pasti akan menggunakan undang-undang yang berlaku.

Bab empat, melaporkan hasil penelitian, yang berisikan pemaparan data  pendapat-pendapat ulama’ di Solo mengenai perkawinan beda agama, analisis sebagai jawaban dari pokok masalah, Sehingga semuanya dapat ditulis secara komprehensif dan mendalam.

Bab lima, bagian akhir berisikan penutup yang memuat kesimpulan hasil telaah penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut atau acuan penelitian.


[1]  Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm.11.

[2]  Fuaddudin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), hlm. 4.

[3] Khoruddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan 1) Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta: Academia dan tazzafa, 2004), hlm. 35-50. Sebagai komentar ada yang berpendapat bahwa memperoleh anak bukanlah merupakan tujuan perkawinan, tetapi lebih pada sesuatu yang boleh ada dan boleh juga tidak. Artinya apabila tidak tercapai, maka tidak merusak perkawinan.

[4]  Pemaknaan maslahah dalam perkawinan tersebut merupakan pemahaman dari arti maslahah itu sendiri, maslahah adalah setiap yang mengandung kemanfaatan baik dengan cara mencari kegunaan dan kenikmatan maupun dengan cara menolak bahaya dan rasa sakit. Bias juga mas}lah}ah berarti mengambil manfaat dan menolak kemudaratan. Lihat Nasrun Haroen, Ushul Fikih I (Bandung: Logos, 1997), hlm. 114; Abd. Wahab Khalla>f, Ushu>l al Fiqh (Kairo: Da>r al-Qalam, 1978), hlm. 198.

[5] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoaan Umat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 208-209. bandingkan dengan beberapa tafsir yang menafsirkan kata-kata mawadah dan rahmah dalam ayat yang sama diantaranya: al-Mawardi menulis bahwa menurut as-Sadi, al-mawaddah adalah al-mahabbah dan ar-rahmah adalah asy-syafaqatu (belas kasihan dan sayang), menuut Hasan al-mawadah adalah al-jima>’ dan ar-rahmah adalah al-walad. Menurut al-Kilabi, al-mawadah adalah hubbu al-kabi>r (rasa cinta yang besar) dan ar-rahmah adalah al-hannu ‘ala shaghi>r (rasa rindu yang kecil). Menurut Muqa>til keduanya diartikan at-tarahim baina az-zaujaini. Abi Hasan ‘Ali al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyu>t Tafsir al-Mawardi (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, t.t.), IV:305. an-Nasafi mengatakan saling mencintai dan mengasihi disebabkan perkawinan. Lihat Sa’id Hawa, al-Asa>s fi at-Tafsi>r (ttp.: Da>r as-Salam, t.t.), hlm. 4266. Ibn kasir juga mengartikan mawaddah dengan al-mahabbah dan rahmah dengan ar-ra’fah (santun, lemah lembut), sehingga laki-laki menjaga wanita adakalanya karena cintanya kepada wanita atau karena rahmahnya. Imaduddin Abu al-Fida Isma’il Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azim (ttp.: Da>r Mishr li Thoba’ah, t.t.), III: 444.

[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.10 (Jakarta: Lentera Hari, 2002), hlm. 477.

[7]  Maksudnya adalah lima hal mendasar yang menjadi pokok kebutuhan kehidupan manusia, dan wajib adanya untuk menegakkan kemaslahatan bagi manusia. Lima hal yang harus dijaga yaitu: agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan. Lihat Yudian Wahyudi, Ushul fikih versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, cet. I (Yogyakarta: Nawesea Press, 2006), hlm. 45; Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqa>s}id al-syari>’ah, cet. I (Jakarta: amzah, 2009), hlm. xi-xv.

[8]  Yusuf Hamid ‘Alim, al-Maqa>s}id al-‘ammah li al-Sayri>’ah al-Islamiyyah  (USA: Internasional Graphics Printing Service, 1991), hlm. 102.

[9]  Wahbah al-Zuhayli, Ushu>l al-Fiqh al-Isla>mi  (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986), II: 772 dan 1025.

[10]  QS. Al-Maidah (5): 5

[11]  QS. Al-Baqarah (2): 221.

[12]  QS. Al-Maidah (5): 72-73; QS>. At-Taubah (9): 30-31.

[13]  Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al-As|ar (Beirut: Da>r al-kutu>b al-Ilmiya>h, 1988), XI: 13.

[14]  Lihat Statblaab, 1898, no. 158. Tentang Peraturan Perkawinan Campuran.

[15]  Lihat pasal 40 dan 44 Kompilasi Hukum Islam. KHI mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama ke dalam bab larangan perkawinan. Secara lengkap bunyi pasal tersebut adalah, pasal 40 poin C, Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan Seorang wanita yang tidak beragama Islam, dan pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang yang tidak beragama Islam. Team Media, Amandemen UU Peradilan Agama (UU RI No. 3 Tahun 2006), Undang-undang Peradilan Agama (Nomor 7  Tahun 1989) dan Kompilasi Hukum Islam (ttp.: Media Centre, t.t.), hlm. 130-131.

[16]   Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-qur’an (Yogyakarta: tnp., 2000), hlm. 29.

[17]  Ali Ahmad an-Nadawi, al-qawa>’id al-Fiqhiyyah  (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1991), hlm. 123.

[18]  Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh  (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), VII: 152.

[19]  Al-Jaziri>, Kita>b al-Fiqh ‘ala> maza>hib al-Arba’ah  (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), hlm. 68-70.

[20]  Rosulullah saw, menikahi Mariah al-Qibt}iyyah, seorang penganut Kristen Koptik yang dihadiahkan oleh Gubernur Mesir, Maukaukis, setelah perang Khaibar. Rosulullah saw, juga mengawini S}a>fiyah binti H}uyai bin Akht}ab, seorang Yahudi dari bani Nadhi>r. ‘’Us|man bin ‘Affan menikah dengan wanita Kristen bernama Nailah binti al-Fara>fis}ah al-kala>biyyah yang selanjutnya memeluk islam, lalu Huz|aifah bin al-Yamani menikahi wanita Yahudi dari mada>’in, kemudian T}alh}ah Ubaidilla>h menikah dengan wanita Kristen, dan masih banyak lagi sahabat lain yang melakukan praktek pernikahan beda agama ini, terutama pada waktu mereka melakukan ekspansi Islam (fath}) ke berbagai wilayah di luar Madinah. Lihat Wahbah az-Zuhaili>, Al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu,  (Beirut: Da>r al-Fikr, 1984), VII : 153-155. Lihat juga Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Cet. IV (Beirut: Da>r al-Fikr, 1983), II: 90-91. Tokoh penting lain setelah sahabat yang melakukan praktek pernikahan beda agama antara lain, Husein bin Ali yang sempat mengawini putrid Kisra Persia yang beragama Majusi, dan Sultan Akbar dari dinasti Moghul yang memperistri putri bangsawan Rajput yang beragama Hindu. Ada indikasi kuat bahwa pernikahan beda agama ini dijadikan sebagai dakwah untuk menarik orang non Islam ke dalam Islam. Dan sejarah membuktikan bahwa tersebarnya Islam di pelbagai penjuru dunia, masa lalu dan sekarang, justru banyak lewat pintu perkawinan tersebut.

[21] “Cegah Solo sebagai kota teroris” http://suaramerdeka.com/v1/index.php/ Cegah-Solo-sebagai-Kota-Teroris-, akses 06 Juni 2010.

[22]  Berikut data hasil pemilu 2009 se Kresidenan Surakarta. KOTA SURAKARTA Total suara 201.946  (Panwas & PPK se Surakarta) : PDIP 35,41, P DEMOKRAT 15,32%, PKS 10,01%, GOLKAR 8,16%, PAN 6,74%, HANURA 4,27%, PDS 4,06%, GERINDRA 3,24 %, PPP 2,94%, PKPI 0,82% .  KAB SUKOHARJO Total Suara 345.624 Suara (KPU Sukoharjo): PDIP   36,40%, GOLKAR 12,10%, DEMOKRAT 10,40%, PAN 8,70%, PKS 6,90%, PPP 3,70%, PKB 2,52%, HANURA 2,50%, PBB 1,84%, GERINDRA 1,81%. KAB. BOYOLALI: PDIP  28,79%, GOLKAR  18,8%, PAN 14.12%, DEMOKRAT 12,00%, PKS 7,85%, PKB 5,66%, HANURA 4,65%, GERINDRA 2,96%, PBB 2,76% , PIS 2,36%.  KAB. KLATEN Total Suara 392.892 Suara (KPU Klaten): PDIP  29,05%, GOLKAR 22,12%, DEMOKRAT 10,45%, PAN 9,32%, PKS 8,20%, GERINDRA 3,40%, HANURA 3,21%, PKB 1,88%, PMB 1,63%, PNBK 1,37%. KAB. WONOGIRI: PDIP 38,20%, GOLKAR 23,42%, PKS 9,29%, P DEMOKRAT 8,01%, PAN 6,43%, GERINDRA 3,23%, HANURA2,45%, PKNU 1,31%, PPP 1,26%, PKB 0,88%.  KAB. KARANGANYAR Suara Total 248.473 Suara (Pemkab Karanganyar) : PDIP  18,58%, GOLKAR 17,49%, P DEMOKRAT 10,20%, PKS 9,51%, PAN 8,92%, PKNU 4,87%, REPUBLIKAN 4,86%, PKB 3,63%, PELOPOR 3,48%, PKPI 3,38%. KAB. SRAGEN Suara Total 459.430 Suara  (PDE Pemkab Sragen): PDIP 37,11%, GOLKAR 12,99%, P DEMOKRAT 10,10%, PKB 7,76%, PKS 6,75%, PAN 5,88%, PPRN 3,50%, GERINDRA 2,46%, HANURA 2,43%, PPP 2,20%. Sumber: http://korantarget.wordpress.com/2009/04/13/hasil-sementara-pemilu-legislatif-se-eks-karesidenan-solo/, akses 07 Juli 2010.

[23]  Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo (Jo-Di) yang merupakan pasangan incumbent serta penantangnya Eddy Wirabhumi-Suradi Kertamenawi (Wi-Di) berikut hasil perolehan suara dari setiap suara di Kota Solo. Kecamatan Lawean  41.350:5.357, Serengan 23.710:2.692, Pasar Kliwon 36.691:5.410, Jebres 66.906:6.233, Banjarsari  79.300:7.685. total perolehan suara 247.957:27.377 dengan Persentase 90,06%:9,94%. (Sumber: PPK, PPS & Data Kelurahan). http://sugengsetyawan.blogspot.com/2010/04/hasil-pilkada-solo-2010.html. Akses 07 Juli 2010.

[24]  Quraish Shihab, Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat (Jakarta; Lentera Hati, 2006) hlm. 241

[25]  Watak intoleran dan eksklusif ini biasanya terwujud dari respon profetis ideologis seseorang kepada agamanya. Tendensi beragama dengan model demikian, ditandai dengan tensi misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan, sehingga kegiatan penyebaran agama dengan tujuan untuk menambah pengikut dinilai memiliki keutamaan teologis dan memperkuat kekuatan ideologis. Puncak kebaikan beragama adalah berlakunya hukum-hukum agama dalam prilaku dan tatanan social. Kategori Iman dan kafir, orang luar dan orang dalam lalu dieksplisitkan dengan menggunakan kategori normative dan ideologis. Sebagai konsekuensi berikutnya, kecenderungan keberagamaan semacam ini sangat sadar untuk menggunakan asset politik dan ekonomi untuk merealisasikan komitmen imannya dalam pelataran praksis social, terutama kekuasaan politik. Periksa Edi Susanto, “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural: Upaya Strategis Menghindari Radikalisme,” KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006 (Pamekasan: STAIN Pamekasan, 2006) hlm.783

[26]  Joseph Vining dalam The authoritative and the authoritarian membedakan antara otoriter dan otoritatif. Dalam bukunya ia menyatakan  bahwa, meskipun ada kebutuhan untuk menganut sebuah keyakinan bersama terhadap sebuah system sebelum melakukan upaya interpretasi. Yang otoriter adalah sebentuk taklid buta, sementara yang otoritatif adalah melakukan pilihan terbaik berdasarkan rasio. Khaled M. Abou El Fadl, Atas nama Tuhan; dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, alih bahasa R. cecep Lukman yasin (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), hlm. 204.

[27]  William A. Graham, “Al-Qur’an sebagai kata terucap; Konstribusi Islam untuk Memahami Kitab Suci,” dalam Richard C. Martin (ed.) Pendekatan dalam kajian Islam dalam studi Agama, alih bahasa Zakiyuddin Bhaidhawi, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 27.

[28]  Ahmad Syafi’I Maarif, “Al-Qur’an sebagai Fundamen Toleransi,” Pengantar dalam Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme  (Jakarta: Fitrah, 2007), hlm. xxxi

[29]  Agnan Nasution, Mashalihul Mursalah; Implementasi Maqâshid Syarî’ah, Tulisan ini disharingkan pada sidang Lembaga Buhuts Islamiyah Divisi Syariah, pada hari Sabtu, 17 Februari 2007 di Rumah Pwk Persis Mesir.

[30]  Khoiruddin Nasution, “Pembidangan Ilmu dalam Studi Islam dan kemungkinan Pendekatannya,” dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikutural, cet. I (Yogyakarta: Kurnia kalam Semesta bekerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002), hlm. 135.

[31]   Metode tematik adalah teori yang dalam menyelesaikan masalah tertentu dilakukan dengan cara mengumpulkan semua nas} yang berhubungan dengan masalah tersebut lengkap dengan pengetahuan latar belakan, kemudian mebahasnya secara menyatu berdasarkan kronologi turunnya, sehingga semua nas} tersebut dibahas menjadi satu pembahasan yang menyatu dan utuh. Lihat Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: INIS, 2002), hlm. 31.  Dalam hal ini, dikalangan ulama konvensional hanya melihat asba>b an-Nuzu>l dan asba>b al-wuru>d terbatas pada kasus yang secara khusus menjadi latar belakang turunnya nas} tersebut. Sedangkan ulama kontemporer melihatnya dari dua sisi yaitu kasus khusus yang menjadi latar belakang turunnya nas} (latar belakang mikro), dan sejarah hidup rasul secara keseluruhan (sebagai masa pewahyuan) ditambah dengan sejarah pra-Islam termasuk latar belakang penyebab turunnya nas} yang harus dipahami untuk memahami nas} (latar belakang makro). Fazlur Rahman, Islam and Modernity: transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 7.

[32]  Metode holistic adalah suatu metode kajian dengan cara memahami seluruh nas} secara menyatu, kemudian mencoba menemukan prinsip-prinsip umum dari nas} tersebut. Khoiruddin Nasution, Status wanita., hlm. 31.

[33]  Induksi tematik adalah suatu metode berpikir yang tidak semata-mata berpijak pada pemahaman atomistic terhadap suatu nas} (cara berpikir deduksi rasional), akan tetapi lebih mengutamakan pada penelusuran dan inventarisasi nas} yang mempunyai tema dan makna yang saling mendukung (kolaboratif). Inventarisasi nas} ini dilakukan sampai pada suatu tingkat yang sedemikian rupa sehingga secara akumulatif makna sentral pada nas} tersebut mencapai derajat meyakinkan (qat}’i). seandainya tidak berhasil mengumpulkan bukti-bukti (dalil-dalil) sampai pada tingkat qat}’i maka kesimpulan yang didapat hanya mengimplementasikan kemungkinan (z}anni). Untuk lebih jelasnya lihat Abu> Ish}a>q asy-Syatibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Ah}ka>m (Beirut: Da>r al-Fikr, 1341 H), Juz 4, dan Ima>m al-Gaza>li dalam karyanya al-Mustas}fa>, Syifa>’ al-Galil dan Mi’ya>r al-‘Ilm.

[34]  Khoiruddin Nasution, “Pembidangan Ilmu., hlm. 133.

[35]  Teori konflik dipelopori oleh Karl Max yang hidup pada abad 19. Untuk lebih mengetahui teori ini, periksa Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, alih bahasa F. budi Hardiman, cet. VI (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 134-63.

[36]   Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, cet. I (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 23-32.

[37] Lexy J Moleong , Metodologi Penelitian Kualitatif  (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 5 dan 9.

[38] Winarno Surahman. Metodologi Penelitian  (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm. 71.

[39] Sumardi Subrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983), hlm. 84-85.

[40] Meleong, Metodologi…., hlm. 10.

BAB II

SEKILAS TENTANG SOLO

  1. A.    Solo dalam Rentang Sejarah

Surakarta, juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 503.421 jiwa (2010)[1] dan kepadatan penduduk 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Solo merupakan pewaris Kerajaan Mataram yang dipecah pada tahun 1755.

Nama Surakarta digunakan dalam konteks formal, sedangkan nama Solo untuk konteks informal. Akhiran -karta merujuk pada kota, dan kota Surakarta masih memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Kartasura. Nama Solo berasal dari nama desa Sala. Ketika Indonesia masih menganut Ejaan Repoeblik, nama kota ini juga ditulis Soerakarta. Nama “Surakarta” diberikan sebagai nama “wisuda” bagi pusat pemerintahan baru ini. Namun, sejumlah catatan lama menyebut bentuk antara “Salakarta”.[2]

Kota Surakarta terletak di antara 110 45` 15″ – 110 45` 35″ Bujur Timur dan 70` 36″ – 70` 56″ Lintang Selatan dan berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Di masing-masing batas kota terdapat gapura keraton yang didirikan sekitar tahun 1931 – 1932 pada masa pemerintahan Pakubuwono X di Kasunanan Surakarta. Gapura Kraton didirikan sebagai pembatas sekaligus pintu gerbang masuk ibu kota Kerajaan Kasunanan (Kota Solo) dengan wilayah sekitar. Gapura Kraton tidak hanya didirikan di jalan penghubung, namun juga didirikan di pinggir sungai Bengawan Solo yang pada waktu itu menjadi dermaga dan tempat penyeberangan (di Mojo / Silir).

Ukuran Gapura Kraton terdiri dari dua ukuran yaitu berukuran besar dan kecil. Gapura Kraton ukuran besar didirikan di jalan besar. Gapura Kraton ukuran besar bisa dilihat di Grogol (selatan), Kerten, dan Jurug (timur). Sedangkan Gapura Kraton ukuran kecil bisa dilihat di daerah RS Kandang Sapi (utara), jalan arah Baki di Solo Baru (selatan), Makamhaji (barat), dan di Mojo / Silir. Gapura Kraton besar juga memiliki prasasti pendiri dan waktu pendirian gapura.

Eksistensi kota ini dimulai di saat Kesultanan Mataram memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745. Akibat perpecahan wilayah kerajaan, di Solo berdiri dua keraton: Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, menjadikan kota Solo sebagai kota dengan dua administrasi. Kekuasaan politik kedua kerajaan ini dilikuidasi setelah berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama 10 bulan, Solo berstatus sebagai daerah setingkat provinsi, yang dikenal sebagai Daerah Istimewa Surakarta. Selanjutnya, karena berkembang gerakan antimonarki di Surakarta serta kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan pejabat-pejabat DIS, maka pada tanggal 16 Juni 1945 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa. Kemudian Solo ditetapkan menjadi tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta (Residentie Soerakarta) dengan luas daerah 5.677 km². Tanggal 16 Juni diperingati sebagai hari jadi Kota Solo era modern.

Setelah Karesidenan Surakarta dihapuskan pada tanggal 4 Juli 1950, Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Semenjak berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang memberikan banyak hak otonomi bagi pemerintahan daerah, Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom.

  1. Pembagian Administratif

1.      Pemerintahan

Surakarta terletak di provinsi Jawa Tengah. Sebelum bergabung dengan Indonesia, Surakarta diperintah oleh sultan. Semasa dikuasai oleh Belanda, Surakarta dikenal sebagai sebuah Vorstenland atau kepangeranan. Penguasa keraton Surakarta saat ini bergelar Pakubuwono XIII, yang saat ini masih diperebutkan antara Pangeran Tedjowulan dan Pangeran Hangabehi. Selain keraton Surakarta, terdapat pula keraton Mangkunegaran yang diperintah oleh Mangkunegara IX. Kedua raja ini tidak memiliki kekuasaan politik di Surakarta.

Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta. Secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran.

Secara yuridis Kota Surakarta terbentuk berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD, yang diumumkan pada tanggal 15 Juli. Dengan berbagai pertimbangan faktor-faktor historis sebelumnya, tanggal 16 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.

2.      Wali kota

Wali kota Surakarta saat ini adalah Ir. Joko Widodo, sedangkan wakilnya adalah F.X. Hadi Rudyatmo. Pasangan wali kota dan wakil wali kota ini, yang sering disebut sebagai Jokowi-Rudy, pertama kali terpilih sebagai walikota Solo untuk masa bakti 2005-2010. Kemudian pasangan dari PDI-P ini terpilih lagi untuk masa bakti kedua dengan perolehan suara lebih dari 90% untuk masa jabatan 2010-2015.[3]

Di bawah kepemimpinan Jokowi dan Rudy, Solo mengalami perubahan yang pesat. Para pedagang barang bekas di Taman Banjarsari dapat direlokasi hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka. Investor diberi syarat untuk mau memikirkan kepentingan publik. Komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) diadakan secara rutin dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Sebagai tindak lanjut branding, Jokowi mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari “10 Tokoh 2008”.[4]

3.      Kependudukan

Salah satu sensus paling awal yang dilakukan di wilayah Karesidenan Surakarta (Residentie Soerakarta) pada tahun 1885 mencatat terdapat 1.053.985 penduduk, termasuk 2.694 orang Eropa dan 7.543 orang Tionghoa. Wilayah seluas 5.677 km² tersebut memiliki kepadatan 186 penduduk/km². Ibukota karesidenan tersebut sendiri pada tahun 1880 memiliki 124.041 penduduk.

Jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2010 adalah 503.421 jiwa, terdiri dari 270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, yang tersebar di lima kecamatan yang meliputi 51 kelurahan dengan daerah seluas 44,1 km2. Perbandingan kelaminnya 96,06% yang berarti setiap 100 orang wanita terdapat 96 orang laki-laki. Angka ketergantungan penduduknya sebesar 66%. Catatan dari tahun 1880 memberikan cacah penduduk 124.041 jiwa. Pertumbuhan penduduk dalam kurung 10 tahun terakhir berkisar 0,565 % per tahun. Tingkat kepadatan penduduk di Surakarta adalah 11.370 jiwa/km2, yang merupakan kepadatan tertinggi di Jawa Tengah (kepadatan Jawa Tengah hanya 992 jiwa/km2).[5]

Jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, kota Surakarta merupakan kota terpadat di Jawa Tengah dan ke-8 terpadat di Indonesia, dengan luas wilayah ke-13 terkecil, dan populasi terbanyak ke-22 dari 93 kota otonom dan 5 kota administratif di Indonesia.

4.      Pendidikan

Menurut Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada tahun ajaran 2010/2011 terdapat 68.153 siswa dan 853 sekolah di Surakarta.[6] Di Solo terdapat dua universitas negeri, yaitu Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Institut Seni Indonesia Surakarta (ISI). Selain itu terdapat 52 universitas swasta lainnya.

5.      Keberagaman

Bangunan ibadah bersejarah di Surakarta beragam, yang mencerminkan keberagaman kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Solo, mulai dari masjid terbesar dan paling sakral yang terletak di bagian barat kota Surakarta, yaitu Masjid Agung Surakarta yang dibangun sekitar tahun 1727 atas prakarsa dari Paku Buwono X, Masjid Mangkunegaran, masjid tertua di Solo, Masjid Laweyan Gereja St. Petrus di Jl. Slamet Riyadi, Gereja St. Antonius Purbayan, hingga Tempat Ibadah Tri Dharma Tien Kok Sie, Vihara Am Po Kian, dan Sahasra Adhi Pura.

Selain dihuni oleh suku Jawa, ada banyak pula penduduk beretnis Tionghoa, dan Arab yang tinggal di Surakarta. Walaupun tidak ada data pasti berapa jumlah masing-masing kepercayaan maupun etnis penduduk dalam sensus terakhir (2010), namun mereka banyak membaur di tengah-tengah warga Solo pada umumnya.

Perkampungan Arab menempati tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Pasar Kliwon, Semanggi dan Kedung Lumbu di Kecamatan Pasar Kliwon, Penempatan kampung Arab secara berkelompok tersebut sudah diatur sejak jaman dulu untuk mempermudah pengurusan bagi etnis asing di Surakarta dan demi terwujudnya ketertiban dan keamanan. Etnis Arab mulai datang di Pasar Kliwon diperkirakan sejak abad ke-19. Terbentuknya perkampungan di Pasar Kliwon, selain disebabkan oleh adanya politik pemukiman di masa kerajaan, juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial. Warto dalam penelitiannya menyebutkan pada tahun 1984, jumlah keturunan Arab adalah 1.877 jiwa, sementara jumlah keturunan Cina adalah 103 jiwa. Berdasarkan data monografi kelurahan Pasar Kliwon tahun 2005, menyebutkan bahwa jumlah keturunan Arab adalah 1.775 jiwa, sedangkan keturunan Cina adalah 135 jiwa. Dari data tersebut dapat dilihat adanya penurunan jumlah penduduk keturunan Arab di Pasar Kliwon. Hal ini disebabkan karena lahan di kelurahan Pasar Kliwon semakin sempit sehingga terjadi perpindahan di daerah lain.[7]

Sementara itu perkampungan Tionghoa banyak terfokus di wilayah Balong, Coyudan, dan Keprabon. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bangunan-bangunan kelenteng dan tempat ibadah, seperti Kelenteng Tien Kok Sie.

C.       Perayaan

Setiap tahun pada tanggal-tanggal tertentu Keraton Surakarta mengadakan berbagai macam perayaan yang menarik. Perayaan tersebut pelaksanaannya berdasarkan pada penanggalan Jawa. Perayaan-perayaan tersebut antara lain:

1.      Kirab Pusaka 1 Suro

Acara ini diselenggarakan oleh Keraton Surakarta dan Puro Mangkunegaran pada malam hari menjelang tanggal 1 Suro. Acara ini ditujukan untuk merayakan tahun baru Jawa 1 Suro. Rute yang ditempuh kurang lebih sejauh 3 km yaitu Keraton – Alun-alun Utara – Gladak – Jl. Mayor Kusmanto – Jl. Kapten Mulyadi – Jl. Veteran – Jl. Yos Sudarso – Jl. Slamet Riyadi – Gladak kemudian kembali ke Keraton lagi. Pusaka- pusaka yang memiliki daya magis tersebut dibawa oleh para abdi dalem yang berbusana Jawi Jangkep. Kirap yang berada di depan adalah sekelompok Kebo Bule bernama Kyai Slamet sedangkan barisan para pembawa pusaka berada di belakangnya.

2.      Sekaten

Sekaten diadakan setiap bulan Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada tanggal 12 Mulud diselenggarakan Grebeg Mulud. Kemudian diadakan pesta rakyat selama dua minggu. selama dua minggu ini pesta rakyat diadakan di Alun-alun utara. Pesta rakyat menyajikan pasar malam, arena permainan anak dan pertunjukan-pertunjukan seni dan akrobat. Pada hari terakhir Sekaten, diadakan kembali acara Grebeg di Alun-alun Utara. Upacara Sekaten diadakan pertama kali pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.

3.      Grebeg Sudiro

Grebeg Sudiro diadakan untuk memperingati Tahun Baru Imlek dengan perpaduan budaya Tionghoa-Jawa. Festival yang dimulai sejak 2007 ini biasa dipusatkan di daerah Pasar Gedhe dan Balong (di kelurahan Sudiroprajan) dan Balai Kota Solo.

4.      Grebeg Mulud

Diadakan setiap tanggal 12 Mulud untuk memperingati hari Maulud Nabi Muhammad SAW. Grebeg Mulud merupakan bagian dari perayaan Sekaten. Dalam upacara ini para abdi dalem dengan berbusana “Jawi Jangkep Sowan Keraton” mengarak Gunungan ( Pareden ) dari Keraton Surakarta ke Masjid Agung Surakarta. Gunungan terbuat dari berbagai macam sayuran dan penganan tradisional. Setelah didoakan oleh Ngulamadalem (Ulama Keraton), satu buah Gunungan kemudian akan diperebutkan oleh masyarakat pengunjung dan satu buah lagi dibawa kembali ke Keraton untuk dibagikan kepada para abdi dalem.

5.      Tinggalan Dalem Jumenengan

Diadakan setiap tanggal 2 Ruwah untuk memperingati hari ulang tahun penobatan raja. Dalam acara ini sang raja duduk diatas dampar di Pendopo Agung Sasanasewaka dengan dihadap oleh para abdi dalem keraton sambil menyaksikan tari sakral ” Tari Bedoyo Ketawang ” yang ditarikan oleh 9 remaja putri yang belum menikah. Para penari terdiri dari para wayahdalem, santanadalem atau kerabat dalem lainnya atau dapat juga penari umum yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.

6.      Grebeg Pasa

Grebek ini diadakan untuk merayakan hari Raya Idul Fitri 1 Syawal. Acara ini berlangsung setelah melakukan sholat Ied. Prosesi acaranya sama dengan Grebeg Mulud yaitu para abdi dalem mengarak Gunungan dari Keraton ke Mesjid Agung untuk didoakan oleh ulama keraton kemudian dibagikan kepada masyarakat pengunjung.

7.      Syawalan

Syawalan mulai diadakan satu hari setelah hari Raya Idul Fitri dan berlangsung di Taman Satwa Taru Jurug di tepi Bengawan Solo. Pada puncak acara yaitu “Larung Getek Jaka Tingkir” diadakan pembagian ketupat pada masyarakat pengunjung. Pada acara syawalan juga diadakan berbagai macam pertunjukan kesenian tradisional.

8.      Grebeg Besar

Berlangsung pada hari Idul Adha (tanggal 10 Besar). Upacara sama dengan prosesi Gunungan pada Grebeg Pasa dan Grebeg Mulud.

D.      Budaya

Surakarta dikenal sebagai salah satu inti kebudayaan Jawa karena secara tradisional merupakan salah satu pusat politik dan pengembangan tradisi Jawa. Kemakmuran wilayah ini sejak abad ke-19 mendorong berkembangnya berbagai literatur berbahasa Jawa, tarian, seni boga, busana, arsitektur, dan bermacam-macam ekspresi budaya lainnya. Orang mengetahui adanya “persaingan” kultural antara Surakarta dan Yogyakarta, sehingga melahirkan apa yang dikenal sebagai “gaya Surakarta” dan “gaya Yogyakarta” di bidang busana, gerak tarian, seni tatah kulit (wayang), pengolahan batik, gamelan, dan sebagainya.

E.       Bahasa

Bahasa yang digunakan di Surakarta adalah bahasa Jawa Surakarta dialek Mataraman (Jawa Tengahan) dengan varian Surakarta. Dialek Mataraman/Jawa Tengahan juga dituturkan di daerah Yogyakarta, Magelang timur, Semarang, Pati, Madiun, hingga sebagian besar Kediri. Meskipun demikian, varian lokal Surakarta ini dikenal sebagai “varian halus” karena penggunaan kata-kata krama yang meluas dalam percakapan sehari-hari, lebih luas daripada yang digunakan di tempat lain. Bahasa Jawa varian Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti di Suriname). Beberapa kata juga mengalami spesifikasi, seperti pengucapan kata “inggih” (“ya” bentuk krama) yang penuh (/iŋgɪh/), berbeda dari beberapa varian lain yang melafalkannya “injih” (/iŋdʒɪh/), seperti di Yogyakarta dan Magelang. Dalam banyak hal, varian Surakarta lebih mendekati varian Madiun-Kediri, daripada varian wilayah Jawa Tengahan lainnya.

Walaupun dalam kesehariannya masyarakat Solo menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia, namun sejak kepemimpinan walikota Joko Widodo maka bahasa Jawa mulai digalakkan kembali penggunaannya di tempat-tempat umum, termasuk pada plang nama-nama jalan dan nama-nama instansi pemerintahan dan bisnis swasta. Pernikahan adat Surakarta juga memiliki ciri-ciri yang khusus, mulai dari lamaran, persiapan pernikahan, hingga upacara siraman dan midodaren.


[2]   Lihat, misalnya, Ann Kumar. 1980. Javanese court society and politics in the late eighteenth century: the record of a lady soldier. Part I. The religious, social, and economic life of the court. Indonesia 29:1-46. Artikel ini mengkaji suatu catatan harian mengenai kehidupan keraton Kasunanan pada masa Pakubuwana IV. Pembukaan pada Serat Babad Mangkunagaran (1779) juga menyebut Pémut tatkala wiwit tinulis, wonten nagari ing Salakarta.

[3]  Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo (Jo-Di) yang merupakan pasangan incumbent serta penantangnya Eddy Wirabhumi-Suradi Kertamenawi (Wi-Di) berikut hasil perolehan suara dari setiap suara di Kota Solo. Kecamatan Lawean  41.350:5.357, Serengan 23.710:2.692, Pasar Kliwon 36.691:5.410, Jebres 66.906:6.233, Banjarsari  79.300:7.685. total perolehan suara 247.957:27.377 dengan Persentase 90,06%:9,94%. (Sumber: PPK, PPS & Data Kelurahan). http://sugengsetyawan.blogspot.com/2010/04/hasil-pilkada-solo-2010.html, diakses 07 Juli 2010.

[4]  Sedikit Orang Baik di Republik yang Luas Joko Widodo, Wali Kaki Lima. Tempointeraktif edisi Luarbiasa Akhir Tahun 2008. Diakses 8 Januari 2009

[6]  http://surakarta.dapodik.org/, diakses 06 Juli 2011.

[7]  Memik Zunainingsih, “Sekolah Islam Diponegoro Surakarta Tahun 1966-2005,” Tesis Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (2010)

BAB III

  1. A.    Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Dalam upaya memelihara aktualisasi dan relevansi hukum keluarga Islam di Indonesia, menurut Munawir Sjadzali,  di Indonesia telah dilaksanakan usaha besar. Pertama, diundangkannya undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.[1] Kedua, proyek kompilasi hukum Islam yang meliputi hukum perkawinan, kewarisan dan wakaf.[2]

Sebelum diteapkannya peraturan di atas, dalam soal perkawinan, Indonesia telah memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga Negara, yaitu undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 januari 1975. Dengan adanya undang-undang ini, maka seluruh peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang ada sebelumnya, sejauh telah diatur dalam undang-undang yang baru ini, tidak berlaku lagi.

Sebelum undang-undang perkawinan ini diundangkan, di Indonesia telah berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hokum sipil (BW), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Voor  de Cristenen Indonesiers) staatblad  1933 no. 74, peraturan perkawinan campuran (regeling op de Gemengde Huwalijken) stattblad 1898 no. 158 dan undang-undang pencatatan nikah, talak dan rujuk, lembaran Negara 1954 no. 32 serta peraturan-peraturan Menteri agama mengenai pelaksanaannya.

Undang-undang pencatatan NTR hanya mengenai teknis pencatatan nikah, talak, rujuk umat Islam. Adapun praktik hukum nikah, talak dan rujuk  pada umumnya menggunakan ketentuan-ketentuan fikih mazdhab Syafi’i.[3]

Dengan berlakunya undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974 (selanjutnya disebut UUP), maka untuk kepastian penerapan hukum nya sesuai dengan agama yang dipeluk masing-masing warga Negara. Ketentuan pasal 2 ayat (1) UUP berbunyi: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ketentuan ini bersifat imperative, setiap calon mempelai yang ingin menikah wajib melaksanakannya.[4] Dengan demikian untuk orang-orang Islam, maka perkawinan yang dilakukan juga harus sesuai dengan hukum Islam.

Pada kenyataannya, baik peraturan perkawinan menurut undang-undang ini, maupun undang-undang  peradilan agama yang member i kewenangan atas perkara waris, wasiat, hibah,, wakaf dan shadaqah, belum semua substansi hokum menurut islam itu tertulis dalam undang-undang tersebut, tetapi masih tersebar dalam bahasa dan huruf Arab klasik, akibatnya belum ada ketentuan hukum Islam yang dapat dijadikan sebagai pedoman bersama dalam soal-soal hokum keluarga di atas.

Dengan keadaan demikian, mahkamah Agung bersama Departemen Agama sejak tahun 1985 secara bertahap mengundang para alim ulama dari semua aliran dan organisasi islam, untuk menyusun kodifikasi bagi hokum Islam dengan sumber hukum kitab fikih tentang perkawinan, kewarisan dan perwakafan, yang kemudian dinamakan proyek pengembangan hukum Islam melalui yurisprudensi atau proyek Kompilasi hukum Islam.[5] Proyek ini dibentuk berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung dan Menteri agama No. 07/KMA/1985 dan no. 25 tahun 1985 tanggal 225 mei 1985, dengan ketuanya Prof. Dr. Bhustanul Arifin, SH.[6]

Secara  umum ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang diatur dalam KHI pada pokoknya merupakan penegasan ulang tentang hal-hal yang telah diatur dalam undang-undang No.1 tahun 1974, tetapi sekaligus dibarengi dengan penjabaran atas ketentuan-ketentuan itu. Hal ini bertujuan untuk membawa ketentuan-ketentuan undang-undang perkawinan itu ke dalam ruang lingkup yang bernafas dan bernilai hukum Islam.[7]

Landasan filosofis perkawinan seperti disebut dalam pasal 2 KHI adalah: perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah, melaksanakannya adalah ibadah dan ikatan perkawinan ini besifat mi>s}a>q}an gali>dha> (ikatan yang kuat).  selain ketentuan, pasal 4, 5, 6 dan 7 KHI juga memuat aturan-aturan:

  1. Sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hokum Islam
  2. Laki-laki muslim dilarang kawin dengan wanita non-muslim
  3. Setiap perkawinan harus dicatat
  4. Perkawinan baru sah apabila dilangsungkan di hadapan pegawai pencata nikah (PPN)
  5. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN.

Ketentuan-ketentuan ini merupakan landasan yuridis bahwa perkawinan harus dilakukan menurut hokum agama dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 ayat (2) UUP). Dengan demikian, perkawinan yang tidak dicatat bukan merupakan perkawinan yang sah menurut perkawinan ini.

Adapun tentang rukun dan syarat perkawinan diatur dalam bab IV (pasal 14 hingga 29) kompilasi hokum islam. Rukun perkawinan  terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. Memperhatikan jumlah rukun nikah yang dikemukakan dalam pasal 14 KHI akan nampak jelas bahwa jumlah ini bersumber dari rumusan hukum madzhab Syafi’i.[8] namun demikian bukan berarti persoalan ini tidak diatur dalam Al-Qur’an atau hadist nabi, hanya pengaturannya bersifat interpretable.

Di antara persoalan yang diatur dalam hokum perkawinan di  Indonesia adalah larangan perkawinan, yang dalam istilah kitab fiqih disebut dengan mawani unnika>h. dalam pasal 39-44 KHI dikemukakan larangan perkawinan baik yang bersifat abadi maupun sementara. Persoalan larangan perkawinan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, antara lain dalam an-nisa> (4): 22-24, dan Al-Baqara>h (2): 221. Pasal 40 huruf c KHI, juga pasal 44 KHI menganulir kebolehan yang dirumuskan dalam al-maidah (5): 5 menjadi larangan atas alasan kondisi, situasi dan maslahat.[9] Larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim, menurut Ibrahim Hosen, merupakan pilihan hokum yang tepat, apa yang ditetapkan dalam pasal ini dapat dibenarkan sebagai upaya sadduzzari’ah dan sejalan pula dengan prinsip syari’ah, sebagaimana pernah dilakukan Umar ibn al-Khatttab.

Di samping materi-materi di atas, hokum perkawinan Islam di Indonesia yang diatur dalam KHI juga memuat tentang perjanjian perkawinan (pasal 45-52), poligami (55-59), hak dan kewajiban suami isteri (77-84), pemeliharaan anak (pasal 98-106), dan hal-hal lain yang terkait dengan masalah perkawinan, yang pada pokoknya tidak berbeda dengan hokum perkawinan dalam literature fikih.

  1. B.    Peraturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Perkembangan zaman menuntut kita sebagai manusia modern untuk membuka mata, memandang sesuatu dengan kesadaran akan pluralisme, baik itu agama ataupun budaya. menghargai perbedaan adalah keniscayaan. Karena dengan berbagai macam perbedaan itu mengharuskan kita untuk membangun kehidupan social yang damai dan rukun. Dan dalam kehidupan social yang penuh akan perbedaan ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perasan saling jatuh cinta, inilah yang kemudian membutuhkan peraturan akan status perkawinan mereka dalam kacamata hukum, baik itu hukum nasional  maupun hukum agama.

Dalam konteks keindonesiaan, kita memiliki undang-undang yang mengatur masalah perkawinan, yaitu Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dalam undang-undang in (UUP) tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, perkawinan beda agama masuk dalam kaategori salah satu yang menghalangi perkawinan tersebut, hal ini termaktub dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f) undang-undang perkawinan. Yang diatur dalam undang-undang ini adalah perkawinan campuran yang diatur dalam pasal 57 UUP dan ini mempunyai arti berbeda dengan perkawinan beda agama.

P.H Sidharta mengemukakan, bahwa dari rumusan perkawinan campuran menurut pasal 57 undang-undang No. 1 Tahun 1974 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan yang berbeda kewarganegaraan yang dilangsungkan antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing, sedangkan perkawinan antara warga Negara asing dengan warga Negara asing lainnya, namun terjadi di Indonesia seperti misalnya warga Negara Jerman dengan warga negara Korea, tidak termasuk pengertian perkawinan campuran pasal 57 undang-undang No. 1 tahun 1974.[10]

Sebelum dikeluarkannya undang-undang no. 1 tahun 1974, di Indonesia telah ada 3 produk legislative, yaitu Kitab undang-undang hukum Perdata (Burgelijke Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S. 1933 Nomoe 74, dan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijke) S. 1898 nomor 158.

Sehubungan dengan ketidakjelasan pengaturan tersebut, Mahkamah Agung melalui surat Ketua mahkamah Agung nomor KMA/072/1981, perihal pelaksanaan perkawinan beda agama yang ditujukan kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, antara lain mengemukakan:

  1. Merupakan suatu keyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang serba majemuk ini yang terdiri dari berbagai macam golongan suku, pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa yang berbeda satu dengan yang lainnya.
  2. Adalah suatu kenyataan pula bahwa antara mereka itu, ada yang menjalani suatu hubungan dalam membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal melalui proses perkawinan, di mana UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan belum mengatur perihal perkawinan beda agama.
  3. Meskipun demikian dapat disebutkan bahwa pasal 66 UUP memungkinkan S. 1898 Nomor 158 diberlakukan untuk mereka sepanjang UUP belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan beda agama yang dimaksud.
  4. Mahkamah agung berpendapat serta berpendirian Negara Republik Indonesia mengakui perkawinan yang ada sebagai suatu “staatshuwelijk”, maka untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi adanya perkawinan yang dilakukan secara liar atau diam-diam, serta untuk menjamin adanya kepastian hokum, kami harap dengan hormat berkenan:
    1. Yang terhormat saudara Menteri agama beserta seluruh jajaran yang ada dalam penaungannya untuk memberikan bantuan demi kelancaran pelaksanaan perkawinan beda agama yang dimaksud.
    2. Yang terhormat saudara Menteri dalam negeri, untuk mengusahakan agar para Gubernur / Bupati / Walikota, dalam hal ini kantor catatan sipil sebagai instansi yang berwenang agar dapat menyelenggarakan perkawinan beda agama, termasuk antara penganut kepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa, apabila syarat-syarat yang ditentukan undang-undang Perkawinan telah terpenuhi dengan baik.

Untuk memahami kedudukan perkawinan beda agama menurut UU nomor 1/1974, maka dapat ditelusuri dari ketentuan tentang sah atau tidaknya suatu perkawinan, juga syarat-syarat serta larangan perkawinan menurut undang-undang ini. Dalam pasal 2 ayat 1 UUP disebutkan: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Selanjutnya dalam penjelasan mengenai pasal ini disebutkan:

Dengan perumusan pada pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang dasar 1945. Yang dimaksud dengan hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Hazairin secara tegas menafsirkan pasal 2 ayat 1 ini dengan menyatakan: “bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu-Budha seperti yang dijumpai di Indonesia”.[11]

Tidak ada lagi perkawinan yang dilakukan hanya menurut hukum agama dan kepercayaannya saja atau hanya dilakukan pencatatannya saja tetapi tidak berlangsung menurut hukum agama dan kepercayaannya itu, mengingat undang-undang nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya, dan di samping itu tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan pasal 2 UUP yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.[12]

Pasal 8 huruf (f) UUP menyatakan: “perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. Dengan demikian undang-undang ini menyerahkan sepenuhnyakepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan boleh tidaknya perkawinan beda agama.

Pada dasarnya semua agama menghendaki perkawinan dilakukan menurut agama masing-masing, demikian pula halnya dengan agama Katolik dan Protestan, menghendaki perkawinan seagama. Namun dalam kedua agama ini terdapat dispensasi dengan syarat-syarat tertentu,[13] bagi yang beragama Kristen Katolik dengan syarat:

  1. Akan tetap setia pada iman Katolik, dan
  2. Berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik.

Sedangkan bagi pasangannya juga dikenai syarat sebagai berikut:

  1. Menerima perkawinan secara Katolik.
  2. Tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik.
  3.  Tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik untuk melaksanakan imannya, dan
  4. Bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

Hukum perkawinan Katolik selain diatur dalam alkitab juga diatur dalam kitab hukum kanonik. Hukum kanonik (yang telah mengalami perubahan) ini disahkan pada tanggal 25 Januari 1983 dan mulai berlaku hari Minggu pertama advent tanggal 27 November 1983.

Dikemukakan oleh Octavianus Eoh bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan menurut agama Katolik harus dipenuhi tiga hal, yaitu:

  1. Adanya persetujuan atau kesepakatan.
  2. Tidak adanya halangan yang menyebabkan perkawinan tidak sah.
  3. Perkawinan harus dilakukan menurut ajaran gereja.[14]

Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan  perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Gereja katolik menganggap bahwa perkawinan antara seorang yang beragama katolik dengan orang yang bukan Katolik dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katolik dianggap tidak sah.

Geraja Katolik pada umumnya menganggap bahwa perkawinan antara seorang yang beragama katolik dengan yang beragama lain, tidak merupakan pasangan yang ideal, karena agama katolik memandang perkawinan sebagai sakramen, maka agama Katolik menganjurkan agar penganutnya kawin dengan orang yang beragama Katolik.

Dalam hukum kanonik, perkawinan antara seorang yang beragama Katolik dan orang yang bukan Katolik, baru dapat dilakukan jika telah ada dispensasi dari ordinaries wilayah.

Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwa agama katolik pada prinsipnya melarang perkawinan berbeda agama. Namun demikian gereja Katolik bersifat realistis, yaitu bahwa dalam hal tertentu dapat memberikan dispensasi terhadap perkawinan beda agama. Dispensasi tersebut akan diberikan apabila pihak yang bukan katolik mau berjanji bahwa tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik melaksanakan imannya dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik. Sebaliknya pihak yang katolik juga harus berjanji bahwa tetap setia pada keyakinannya sebagai orang Katolik dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.[15]

Bagi orang yang beragama protestan diberikan dispensasi dengan syarat menandatangani suatu perjanjian yang berisi: tetap akan melaksanakan iman Kristennya dan membaptis anak-anak yang lahir dari perkawinan itu secara Kristen. Sedangkan bagi orang yang menikahinya diberikan syarat tidak berkeberatan perkawinan dilakukan di gereja protestan dan tidak berkeberatan anak-anak mereka dididik secara protestan.

Pada prinsipnya agama Kristen Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan yang seagama, sebab tujuan utama di dalam perkawinan menurut agama Kristen Protestan adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan itu akan sulit tercapai jikalau perkawinan tersebut bersama dengan yang tidak seiman atau tidak seagama.

Demi kesejahteraan perkawinan, gereja menganjurkan kepada umatnya untuk mencari pegangan hidup yang seagama dengan mereka, akan tetapi agama Kristen Protestan tidak melarang umatnya menikah dengan orang-orang yang bukan beragama Krosten Protestan, dengan syarat bahwa pihak yang bukan beragama Protestan harus membuat surat pernyataan tidak keberatan perkawinannya dilaksanakan di Gereja.[16]

Pendeta Fridolin Ukur, mengemukakan bahwa, dalam hal terjadi perkawinan seorang yang beragama Kristen Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, maka:

  1. Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing.
  2. Kepada mereka diadakan penggembalaan khusus.
  3. Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka.
  4. Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa bersedia untuk ikut agama Protestan. Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami isteri yang seiman.
  5. Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, bahkan anggota gereja yang kawin dengan yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja.[17]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa apabila terjadi perkawinan berbeda agama di mana salah satu beragama Protestan, maka gereja protestan memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk memilih, apakah menikah dicatatan sipil atau diberkati di gereja atau bahkan mengikuti agama dari calon suami atau isterinya.

Secara eksplisit dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya masing-masing agama, baik Kristen protestan maupun katolik tidak menghendaki perkawinan beda agama yang pada akhirnya dikhawatirkan berpaling dari keyakinannya. Lebih jauh dari itu dipikirkan juga bagaimana pendidikan anak-anaknya kelak, sehingga jangan terlahir dengan tidak menganut agama mereka.

Bagi umat Islam, dalam konteks keindonesiaan seperti yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan dengan penganut agama lain dilarang. Dalam pasal 40 huruf (c) KHI melarang perkawinan antara seorang laki-laki Islam dengan wanita yang tidak beragama Islam. Sedangkan dalam pasal 44 KHI melarang melangsungkan perkawinan antara seorang wanita Islam dengan laki-laki yang tidak beragama Islam.

Kompilasi Hukum Islam merupakan lampiran Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Intruksi Presiden ini memerintakan kepada Menteri Agama untuk menyebar luaskan kompilasi ini. Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad sebagian ulama Indonesia, boleh saja disebarluaskan menjadi pemahaman hokum di Indonesia, namun dari segi tata hukum, jika kita ingin menciptakan suatu system hukum nasional yang mantap, di mana ada perkawinan campuran, ada hukum antar tata hokum, maka harus dipikirkan oleh pemerintah mengenai cara mengatur hubungan antar golongan, hukum yang mengatur perbedaan agama dalam melangsungkan perkawinan. Bisa saja dilakukan pelarangan seperti kompilasi, tetapi demikian para Hakim pengadilan di Indonesia boleh saja memutuskan ijtihadnya dengan yurisprudensinya, untuk memberikan suatu penyelesaian, suatu jalan keluar sesuai dengan hakekat tata hukm Indonesia.[18]

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dilihat secara formal yuridis tidak mempunyai kedudukan sebagai aturan tertulis di dalam system hukum nasional. KHI adalah hasil pemikiran dari kalangan yang tidak resmi, bukan dari kalangan badan yang berwenang membentuk suatu aturan tertulis melainkan hasil dari sekelompok ulama dan pakar hukum (Islam) yang dapat dikatakan sebagai hasil ijtihad dari kalangan tersebut yang dianggap baik oleh pemerintah, karenanya oleh pemerintah didukung dalam menyebarluaskannya.

Di dalam bidang ilmu positif ada istilah hukum tertulis dan tidak tertulis, kedudukan KHI dapat dikatakan dalam teori hukum sebagai comunis opinion doctorum artinya dilihat dari segi subastansi belum dapat dikatakan sebagai suatu hokum tidak terulis. Untuk memperoleh kedudukan demikian dalam lingkungan tata hukum positif nasional, masih diperlukan pengembangan dan peningkatan menjadi comunis opinion dan tahap berikutnya menjadi comunio opinion necessitates.[19]

Berkaitan dengan perkawinan beda agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 1 juni 1980 mengeluarkan fatwa Nomor 05/Kep/Munas II/MUI/1980 sebagai tanggapan atas bertambahnya perhatian masyarakat terhadap makin seringnya terjadi perkawinan beda agama.[20] Fatwa tersebut memuat dua masalah yang terkait beda agama. Pertama, bahwa seorang wanita Islam tidak diperbolehkan (haram) untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam. Kedua, bahwa seorang laki-laki muslim tidak diijinkan menikah dengan seorang wanita yang bukan muslim. Penting untuk dicatat bahwa fatwa ini dibicarakan dan diputuskan dalam konferensi tahunan pada tahun 1980, bukannya rapat-rapat biasa komisi fatwa. Hal ini menunjukkan perhatian MUI yang besar terhadap masalah perkawinan beda agama.

Larangan seperti ini, walaupun al-Qur’an jelas mengizinkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab, namun MUI menilai bahwa kerugian (mafsadah) perkawinan seperti ini lebih besar daripada keuntungannya (maslahah). Adagium da>r al-mafa>sit muqaddam ‘ala jalb al-masa>lih (menolak kerusakan itu harus didahulukan daripada menarik manfaat) sangat dikedepankan untuk menghadapi problem tersebut. larangan seperti ini adalah sebagai respon adanya penetrasi kristenisasi lewat perkawinan beda agama, bahkan HM. Rasyidi menyebutnya sebagai kristenisasi terselubung.[21]

Seperti diketahui bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga dalam mencapai kebahagiaan dan ketentraman dalam suasana penuh kasih sayang, perkawinan tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan manakala hanya didasarkan pada pemenuhan kebutuhan biologis dan materi semata, tanpa terpenuhinya kebutuhan afeksional (kasih dan sayang).[22]

Dalam penjelasan pasal 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa :

  1. Kebahagiaan itu tidak terlepas dari ajaran agama yang dianut oleh suami, isteri dan anak-anak.
  2. Kebahagiaan itu bukan sekedar lahiriah saja, tetapi juga kebahagiaan batin atau rohani.
  3. Kebahagiaan itu berkaitan erat dengan keturunan.

Pada kenyataannya, menurut hasil penelitian Zarkasji A. Salam perkawinan beda agama berpengaruh besar terhadap hubungan suami isteri, juga kepada anak-anaknya. Bahkan sering menjadi kendala dalam upaya membangun kehidupan rumah tangga yang damai sejahtera, penuh kasih sayang, hormat menghormati dan saling bertanggung jawab.[23] Terbentuknya keluarga bahagia banyak ditentukan oleh ketepatan memilih pasangan. Pilihan harus didasarkan kepada standar yang jelas dan teguh seperti agama dan ahlaknya, bukan kepada standar yang labil dan mudah berubah seperti kecantikan dan kekayaan.

Dengan demikian, meskipun hubungan muslim dengan non muslim harus dijalin berdasarkan prinsip persamaan dan keadilan, tetapi dalam hal prilaku yang akan mempengaruhi terhadap keimanan, Islam bertindak tegas untuk lebih baik mencegah. Selagi tidak menggangu keimanan, maka seorang muslim harus mengedepankan sikap toleran, menebarkan perdamaian dan keadilan bukan hanya kepada sesama muslim, namun juga terhadap non muslim, sehingga Islam benar-benar dapat menjadi rahmatan li al-‘a>lami>n.


[1] Abdul Azis Thaha, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 282-285.

[2]  Amrullah Ahmad (ed.), Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 223.

[3]  Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 9.

[4]  Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1992), hlm. 23.

[5]  Sudinnan Tebba (ed.), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 63.

[6]  Amrullah Ahmad (ed.), Dimensi Hukum Islam., hlm. 224.

[7]  Mahfud MD (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1993), hlm. 79.

[8]  Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993), hlm. 59.

[9]  Mahfud MD (ed.), Peradilan Agama., hlm. 81.

[10]  P. H. Sidharta, Undang-Undang Perkawinan ditinjau dari Segi Hukum Antar Tata Hukum Perdata Pada Dewasa Ini (Jakarta: Hukum dan Pembangunan, 1992), hlm. 342.

[11]  Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Jakarta: Tintamas, 1986), hlm. 5-6.

[12]  Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1996), hlm. 195.

[13]  Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Yoyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1995), hlm. 219-220.

[14]  Octavianus Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 179.

[15]  Zulkarnaen, Perkawinan Antar Agama di Indonesia Suatu Studi Yuridis (Jakarta: Ilmu dan Budaya, 1990), hlm. 679.

[16]  Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama., hlm. 31.

[17]  Octavianus Eoh, Perkawinan antar agama., hlm. 182-183.

[18]  Ichtijanto, Perkawinan Campuran Dalam Negeri RI: Suatu Studi Ke arah Hukum yang Dicita-Citakan (Jakarta: Hukum dan Pembangunan, 1993), hlm. 356.

[19]  Moh. Koesnoe, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,” Varia Peradilan, No. 122 (1995), hlm. 156.

[20]  M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 99.

[21]  Tutik Hamidah, “Peraturan Perkawinan Antar Agama di Indonesia (Prespektif Muslim),”  Tesis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000), hlm. 83.

[22]  Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa., hlm. 219.

[23]  Zarkasji Abdul Salam, “Perkawinan Antar Orang Yang Berbeda Agama (Muslim Dengan Non Muslim),”  Jurnal Penelitian Agama,Th. IV,  No. 9 (Januari-April 1995), hlm. 33.

BAB IV

RESPON ULAMA  SOLO TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA

  1. A.    Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam

Dalam ajaran agama Islam, keabsahan perkawinan terletak pada dua hal, yakni pada pelaksanaan akad nikah dan adanya kedua mempelai. Artinya perkawinan itu dipandang sah apabila akad nikah dilaksanakan secara Islam dan calon suami dan istri memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Islam.[1] Di antara syarat calon suami istri adalah berkaitan dengan keberagamaan mereka. Dalam hal ini, tidak dibenarkan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non muslim, dan tidak dibenarkan pada perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim yang bukan ahli kitab. Terhadap perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim dari ahli kitab, para ulama’ berbeda pendapat, ada yang membolehkan, dan ada pula yang mengharamkan. Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Medi,[2] wakil pimpinan di Majlis tafsir Al-Qur’an di Solo. Beliau menambahkan bahwa, fundamental adalah keniscayaan dalam masalah hokum Islam, tekstual dalam masalah agama  merupakan langkah yang harus selalu ditempuh untuk  menelurkan hasil dari ijtihad dalam masalah apapun yang berkaitan dengan agama.[3]

Fenomena perkawinan beda agama ini sudah lama menjadi perbincangan ulama fikih. Perbedaan pendapat para ulama pada umumnya bersandar pada ayat-ayat Al-Qur’an yang sama, mislanya al-baqarah (2): 221 dan al-Maidah (5): 5, namun mereka berbeda dalam, memanhaminya, antara lain disebabkan oleh factor sosio cultural yang mempengaruhi ulama tersebut.

Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita, yang karena perbedaan agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing.[4] Suasana kehidupan yang majemuk dan plural seperti sekarang ini sangat memungkinkan seseorang yang berlainan agama untuk saling jatuh cinta. Bahkan terjadinya perkawinan beda agama di Indonesia secara sosiologis merupakan sesuatu yang wajar, karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama yang diakui keberadaannya dan dijamin kemerdekaannya oleh undang-undang dasar 1945.

  1. B.    Pendapat Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama

Pembicaraan Al-Qur’an tentang perkawinan beda agama dapat ditemukan dalam tiga tempat, pertama QS. Al-Baqarah (2): 221 berbicara tentang ketidakbolehan laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrik dan ketidak bolehan wanita muslim dinikahi dengan laki-laki musyrik. Allah berfirman:

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Kedua, QS, al-Mumtahanah (60): 10 yang menegaskan ketidakbolehan wanita muslim bagi pria kafir dan sebaliknya. Allah berfirman:

$pkš‰r’¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? ’n<Î) ͑$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts† £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4 Ÿwur yy$oYã_ öNä3ø‹n=tæ br& £`èdqßsÅ3Zs? !#sŒÎ) £`èdqßJçG÷s?#uä £`èdu‘qã_é& 4 Ÿwur (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# (#qè=t«ó™ur !$tB ÷Läêø)xÿRr& (#qè=t«ó¡uŠø9ur !$tB (#qà)xÿRr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ãNõ3ãm «!$# ( ãNä3øts† öNä3oY÷t/ 4 ª!$#ur îLìÎ=tæ ÒOŠÅ3ym

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ketiga, QS al-Maidah (5): 5 yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Allah berfirman:

tPöqu‹ø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh‹©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èdu‘qã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur ü“É‹Ï‚­GãB 5b#y‰÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ô‰s)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur ’Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$#

Artinya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

Dari tiga ayat yang sama-sama dijadikan sebagai rujukan dalam merumuskan hokum perkawinan beda agama, ternyata ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda.

  1. Perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non muslim

Islam melarang perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non muslim, baik laki-laki ahli kitab, musyrik atau atheis. Dengan pertimbangan keselamatan agama wanita yang beragama Islam, jangan sampai agamanya tinggal karena pengaruh suaminya.[5]

Tidak halal bagi wanita muslim kawin dengan laki-laki non muslim, baik pengikut faham komunis, hindu atau lainnya atau dari ahli kitab. Sebab laki-laki punya hak tanggung jawab mengurusi isterinya, dan isteri harus taat kepada suaminya. Maka tidaklah benar seorang kafir atau musyrik menguasai seorang perempuan yang mengucapkan la> ila>h}a illalla>h Muhammadur Rasu>lulla>h. Allah berfirman dalam QS an-Nisa (4): 141, bahwa Allah benar-benar tidak akan member izin kepada orang-orang kafir menguasai orang-orang beriman.[6] Ayat ini secara eksplisit memberikan wasiat terhadap wanita muslim untuk tidak menikahi laki-laki non muslim hingga beriman.

Umar r.a menyatakan bahwa tidak halal bagi laki-laki non muslim menikahi wanita muslimah selama laki-laki tersebut tetap belum masuk Islam. Sikap sayyidinan Umar ibn Khattab yang tegas itu didasarkan pada al-Qur’an surat al-Mumtahanah (60) ayat 10.

Ulama berpendapat bahwa al-Qur’an melarang wanita muslim menikah dengan laki-laki non muslim, baik dari kalangan musyrik maupun ahli kitab, bahkan Ibn Hazm menyatakan haram secara mutlak.[7] Jadi wanita muslim hanya diperbolehkan menikah dengan laki-laki muslim. Menurut mayoritas ulama, larangan pernikahan ini didasarkan pada al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Menurut At-Tabari, wanita muslim haram hukumnya untuk menikah atau dinikahkan dengan laki-laki musyrik, papun jenis kemusyrikannya. At-Tabari mengutip pemahaman terhadap ayat itu dengan mengatakan: “kamu tidak boleh menikahkan (wanita muslim) dengan laki-laki Yahudi atau Kristen dan msyrik yang tidak seagama denganmu.[8]

Quraish Shihab menyatakan bahwa larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki ahli kitab diisyaratkan oleh al-Qur’an, isyarat ini dipahami dari redaksi dalam surah al-Maidah ayat 5 yang hanya berbicara tentang kebolehan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, dan sedikitpun tidak mnyinggung sebaliknya.[9] Sehingga, seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.

Rasyid Ridha memiliki pendapat yang berbeda, menurutnya, perkawinan semacam ini bukan karena isyarat larangan seperti pendapat di atas, tetapi tidak ada penjelasan (maskut ‘anhu).[10] Adapun yang dijadikan larangan adalah karena tidak adanya kebebasannya dalam rumah tangganya ini, bukan karena hokum asalnya memang dilarang atau isyarat ayat al-Qur’an. Karena hukum asal dalam bidang mu’amalah, termasuk perkawinan adalah mubah (boleh) selama tidak adanya nas yang melarangnya.[11]

Pernikahan seperti ini dilarang karena dikhawatirkan wanita muslim akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya. Allah menjelaskan dalam firmannya “mereka mengajak ke neraka”, yakni mengajak kepada kekufuran yang akan menjadi sebab masuk ke neraka. Hal ini disebabkan karena seorang laki-laki memiliki kekuasaan dan wewenang atas isterinya. Dengan demikian wanita tidak memiliki kebebasan dalam rumah tangganya, termasuk kebebasan beragama dan mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu pernikahan antara wanita muslim dengan laki-laki non muslim akan membahayakan agamanya.[12]

Namun  alasan ini diragukan, Amir Syarifudin mengatakan, jika alasan larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki ahli kitab dikarenakan wanita tidak memiliki kebebasan dalam rumah tangganya, karena dalam posisi dipimpin dan harus taat kepada suami, maka bagaimana jika kedudukan wanita dalam rumah tangga setara atau sederajat dengan suami.[13] ini dapat dijumpai dalam beberapa masyrakat, lebih-lebih lagi bagaimana jika dalam rumah tangga jutru isteri yang lebih dominan pengaruhnya.

Dengan menggunakan prinsip interpretasi evolusioner, An-Na’iem cenderung membolehkan perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki non muslim.[14] Menurut An-Na’iem perkawinan seperti ini dilarang didasarkan pada kombinasi operasi perwalian laki-laki, dalam kasus ini suami terhadap isterinya. Karena suami non muslim tidak dapat menjadi wali isteri muslimahnya, maka hokum Islam melarangnya. Jika perwalian suami terhadap isterinya ini dihapus, maka tidak akan ada lagi pembenaran terhadap larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki non muslim.

Terhadap asumsi bahwa jika perkawinan tersebut diijinkan, maka suami non muslim akan mempengaruhi isteri muslimahnya keluar dari islam, An-Na’iem mengatakan bahwa asumsi inipun dapat dihapus dengan prinsip evolusi di atas. Alasan larangan ini, tentu saja bagian dari fenomena sosiologi yang lebih luas, yaitu kelemahan kepercayaan diri dalam integritas perempuan dan keputusannya yang baik.

Dalam hal ini penulis cenderung setuju dengan pendapat Rasyid Ridha, tetapi apabila keadaan terbalik, di mana wanita mempunyai kedudukan yang lebih dominan dalam keluarga daripada laki-laki, maka perkawinannya dengan laki-laki yang beragama lain diperbolehkan, meskipun dalam kasus yang terbatas.

  1. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita musyrik

Allah SWT menetapkan laki-laki muslim agar jangan menikahi wanita musyrik hingga mereka beriman. Seperti dalam Al-Qur’an yang menegaskan dalam surat al-Baqarah (2): 221 , “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”.  Selain itu dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Ibn Umar, Rosulullah bersabda: “Allah mengharamkan kaum muslimin menikahi wanita musyrik dan saya tidak melihat sesuatu bentuk syirik yang lebih besar daripada wanita yang menyatakan bahwa Tuhannya Isa, sedangakan Ia adalah hamba Allah”.

Wanita musyrik adalah perempuan penyembah berhala dan patung-patung dan berkeyakinan bahwa berhala-berhala itu dapat jadi mediator untuk mendekatkan seseorang kepada Allah. Selain itu termasuk juga di dalamnya adalah perempuan-perempuan yang percaya adanya banyak Tuhan, percaya ada Tuhan selain Allah atau mereka yang sama sekali tidak percaya adanya Tuhan serta tidak meyakini adanya kitab-kitab Allah dan akhirat.[15]

Menurut Wahbah Zuhaili, pengertian musyrik menunjuk pada golongan yang tidak menganut agama samawi, dan tidak berkitab samawi. Mereka adalah penyembah berhala, bintang, api ataupun binatang.[16] As-Sabuni  memberikan cakupan yang lebih luas, yaitu meliputi musyrikin Arab, majusi, Yahudi, Kristen dan orang-orang murtad dari Islam.[17] Namun pendapat terakhir ini tidak didukung mayoritas ulama, karena majusi, Kristen dan yahudi termasuk kategori ahli kitab.

Larangan ini dimaksudkan agar keselamatan keyakinan agama suami dan anak-anaknya dapat terjamin, demikian pula keserasian dan keharmonisaan hidup rumah tangga benar-benar dapat dicapai sesuai dengan tuntutan Islam.

  1. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab

Dr Muhammad Ghalib dalam disertasinya ahl al-kitab; makna dan cakupannya, di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan bahwa dalam perihal ahli kitab, para ulama sepakat bahwa ini menunjuk kepada komunitas penganut agama samawi sebelum Islam, yakni kaum Yahudi dan nasrani. Orang-orang Islam, walaupun memiliki kitab suci yang juga berasal dari Allah dan dinamai al-kitab, di samping nama-nama lainnya, tetapi al-Qur’an tidak pernah menyebut umat Islam sebagai ahli kitab, sebagaimana halnya orang yahudi dan nasrani.

Pada masa awal perkembangan Islam, khususnya masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya, term ahli kitab selalu digunakan untuk menunjuk kepada komunitas agama yahudi dan nasrani. Selain kedua komunitas tersebut, mereka tidak disebut ahli kitab. Kaum majusi misalnya, meskipun telah ada sejak masa Rosulullah dan sahabat, mereka tidak disebut dengan ahli kitab. Meskipun demikian, Rosulullah SAW memerintahkan supaya memperlakukan mereka seperti halnya ahli kitab.

Quraish Shihab juga menegaskan hal serupa, bahwa ahli kitab adalah semua penganut agama yahudi dan nasrani. Dasarnya adalah penggunaan al-Qur’an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu.[18]

Respon terhadap masalah ini, para ulama berbeda pendapat, pertama, berpendapat bahwa menikahi perempuan ahli kitab halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini adalah jumhur ulama. Landasannya berdasarkan surat al-Maidah (5): 5, Allah berfirman:

tPöqu‹ø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh‹©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èdu‘qã_é& tûüÏYÅÁøtèC uŽöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB Ÿwur ü“É‹Ï‚­GãB 5b#y‰÷{r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç`»uKƒM}$$Î/ ô‰s)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur ’Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÎŽÅ£»sƒø:$#

Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

Menurut at-Tabari pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab yang merdeka dan menjaga kehormatannya adalah halal, baik kitabiyyah zimmiyah maupun harbiyyah.[19] Menurutnya, keharaman laki-laki muslim mengawini wanita non muslim dalam suraH al-Baqarah (2): 221, telah dinasakh oleh ayat 5 surat al-maidah yang memberikan pengecualian terhadap wanita dari golongan ahli kitab.

Al-Qurtubi juga membenarkan kebolehan pernikahan laki-laki muslim mengawini wanita ahli kitab yang muhsan.[20] Al-Muhsan adalah wanita yang menjaga kehormatannya dari melakukan zina. Sedangkan menurut Ali as-Sayis, al-Muhsan berarti al-Harair, yakni wanita merdeka bukan hamba sahaya, dan ada juga yang mengartikan al-afifah, yaitu perempuan yang memelihara kehormatan dirinya.[21]

Imam-imam madzhab yang empat dalam prinsipnya memiliki pendapat yang sama, yaitu bahwa wanita ahli kitab boleh dinikahi oleh laki-laki muslim.[22] Hal ini pernah dipraktekkan oleh sahabat nabi seperti Usma, Talhah, Ibn abbas, dan para tabi’in, seperti Sa’id ibn al-Musayyab, al-Hasan dan lain-lain. Alasan dari para imam tersebut adalah Meskipun mereka para wanita ahli kitab berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan atau meyakini trinitas, dan itu merupakan syirik yang nyata, tetapi karena mereka memiliki kitab samawi, mereka halal dinikahi sebagai takhsis.[23] Maka dari itu, ketika Ibnu Taimiyah menjawab persoalah pernikahan dengan wanita nasrani dan yahudi, beliau menjawab bahwa, ini diperbolehkan karena ada landasan dalam surat al-Maidah ayat 5 tersebut, selain itu jumhur ulama dan imam madzhab memperbolehkan ini.[24] Ahli kitab tidak termasuk musyrikin, ayat dalam surat al-Baqarah bersifat umum, sedangkan ayat dalam surat al-Maidah besifat khusus.

Golongan kedua, ada ulama yang mengharamkan pernikahan semacam ini. Mereka beralasan bahwa ahli kitab sama dengan musyrik, yaitu karena ahli kitab mempertuhankan orang-orang alim mereka, rahib-rahib mereka dan juga Isa al-Masih (QS. At-Taubah (9): 30-31 dan al-maidah (5): 72-73). Menurut pendapat ini, dalam surat al-Maidah ayat 5 tersebut yang menjelaskan halalnya laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab yang menjaga kehormatannya diartikan apabila mereka telah memeluk Islam. Sehingga jika mereka tetap dalam agama mereka, maka tidak termasuk wanita terhormat (muhsana>t). mereka juga mengatakan bahwa ayat ini telah dihapus oleh surat al-Baqarah ayat 221, sehingga tidak berlaku lagi.[25]

Kalangan sahabat terkemuka dari golongan ini adalah Ibn Umar. Ketika ditanya tentang mengawini wanita hali ktab, Ibn Umar menjawab: “sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi laki-laki muslim. Aku tidak tahu syirik manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah seorang di antara hamba Allah”.[26] Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat nabi dan ulama,[27] di samping ahli kitab tidak sama dengan musyrik, juga karena surat al-Maidah yang paling akhir turunnya, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ayat ini dibatalkan oleh surah al-Baqarah yang turun lebih dahulu.

Mengomentari pendapat Ibn Umar, Quraish Shihab dapat memahaminya dengan memeperhatikan bahwa Ibn Umar dikenal sangat hati-hati serta amat gandrung meniru nabidalam sikap dan tindakannya. Kehati-hatian dan kegandrungan itulah yang menjadikan Ibn Umar begitu ketat dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan kemudahan yang dianugerahkan al-Qur’an.[28]

Menurut Ibrahim Hosen, bahwa di antara golongan yang memandang halal menikahi wanita ahli kitab, ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wanita ahli kitab adalah yang telah membayar jizyah, atas dasar bahwa ahli kitab yang tidak membayar jizyah tetap berlaku padanya hukum perang menurut QS. At-Taubah (9): ayat 29, Allah berfirman:

(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöqu‹ø9$$Î/ ̍ÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä† $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qߙu‘ur Ÿwur šcqãYƒÏ‰tƒ tûïϊ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷“Éfø9$# `tã 7‰tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹

Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

Ayat ini menunjukkan bahwa wanita ahli kitab yang tidak membayar jizyah tidak halal dinikahi oleh laki-laki muslim, karena terhadap mereka tetap berlaku hukum perang.[29]

Menurut qaul mu’tamad dalam madzhab Syafi’I, wanita ahli kitab yang halal dinikahi oleh laki-laki muslim ialah wanita yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sebagao agama keturunan dari orang-orang (nenek moyang mereka) yang menganut agama tersebut semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rasul. Tegasnya, orang yang baru menganut agama yahudi dan nasrani setelah al-Qur’an diturunkan, maka mereka itu tidaklah dianggap ahli kitab. Jalan pikiran madzhab Syafi’I ini mengakui bahwa ahli kitab itu bukan karena agamanya, melainkan karena menghormati asal keturunannya.

Dihlalakannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahli kitab adalah karena suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap isteri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anaknya. Dengan kelakuan dan komunikasi yang baik dari suami akan membawa misi kasih saying dan kesan yang harmonis, dengan demikian akan membawa kesan bahwa Islam adalah agama lurus, mengajak kepada yang haq, berbuat adil baik terhadap sesama muslim maupun non muslim.[30]

Meskipun mayoritas ulama memperbolehkan pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, tetapi tetap harus dibarengi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami, yakni ia harus mampu melaksanakan agamanya dengan baik, menjadi pemimpin isteri dan rumah tangganya, termasuk pendidikan anak-anaknya, Yusuf Qardawi mengemukakan hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:

  1. Wanita ahli kitab itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi.
  2. Wanita ahli kitab yang muhsanah.
  3. Ia bukan ahli kitab yang kaumnya berada pada status permusuhan dengan kaum muslim.
  4. Di balik pernikahan itu tidak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadah, makin besar kemudaratannya, makin besar tingkat keharamannya. [31]
  5. Bagi wanita ahli kitab yang bersuami laki-laki muslim berlaku hukum islam dalam rumah tangganya seperti halnya bagi wanita muslim, misalnya mandi junub, haid dan lain-lain.[32]

Dengan memberikan syarat-syarat seperti di atas, dapat dipahami, bahwa memang seharusnya orang-orang yang akan melangsungkan pernikahan beda agama harus berfikir ulang akan kelangsungan pernikahannya. Maka dari itu, meskipun mayoritas ulama membolehkan, namun kebanyakan dari mereka, menurut Ibn Qudamah, berpendapat sebaiknya tidak menikahi wanita ahli kitab, dan wanita muslim lebih baik dari mereka.


[1]  Zarkasji Abdul Salam, “Perkawinan Antar Orang Yang Berbeda Agama (Muslim Dengan Non Muslim),”  Jurnal Penelitian Agama,Th. IV,  No. 9 (Januari-April 1995), hlm. 26.

[2]  Sayang sekali KH. Amrullah Ahmad sebagai pimpinan di Majelis Tafsir Al-Qur’an tidak dapat meeluangkan waktu untuk wawancara langsung ataupun sekedar berpendapat dalam tulisan. waktu yang dijanjikan pun tidak terbatas, hingga menghambat proses penyelesaian penelitian ini.

[3] Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juni 2011 di kantor Majelis Tafsir Al-Qur’an Solo.

[4]  Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Permasalahannya (Bandung: Pionir Jaya, 1986), hlm. 17.

[5]  Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 16.

[6]  Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqih Wanita Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), hlm. 26-27.

[7]  Ibn Hazm, al-Muhalla> bi al-A<s\ar  (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-Ilmiya>h, 1988), IX: 125.

[8]  Ibn Jari>r at-Tabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an  (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-Ilmiya>h, t.t.), II: 223.

[9]  M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 197.

[10]  Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Kari>m asy-Sahi>r bi Tafsir al-Mana>r  (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), II: 351.

[11]  Ibid., hlm. 193.

[12]  Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Bandung: al-Ma’arif, 1987), hlm. 94.

[13]  Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1993), hlm. 83.

[14]  Abdullahi Ahmed an-Na’iem, Dekonstruksi Syari’ah  (Yogyakarta: LKiS, 1997), hlm. 345-346.

[15]  Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 8.

[16]  Wahbah az-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu>  (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), VII: 151.

[17]  As-Sabuni>, Tafsir Ayat al-Ahkam  (Mekkah: Da>r al-Qur’a>n, t.t.), hlm. 289.

[18]  M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 370.

[19]  Ibn Jari>r at-Tabari, Jami’ al-Baya>n., hlm. 448.

[20]  Al-Qurtubi, Al-Jami li al-Ahka>m al-Qur’an (Kairo: Maktabah Da>r al-Kita>b, 1967), VI: 79.

[21]  Ali as-Sayi>s, Tafsir Ayat al-Ahka>m (Mesir: Ma’tabah Muhamma>d ‘Ali> Sya>bi>h wa aula>du>h, 1953), II: 168.

[22]  Abdurrahman I Doi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 32.

[23]  Al-Jazi>ri>, Al-Fiqh ‘ala Maza>hib al-Arba’ah, IV (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), hlm. 60-70.

[24]  Ibn Taimi>ya>h, Majmu Fatawa> (Mekkah: al-Mamlaka>h al-Arabi>ya>h as-Saudi>ya>h, 1398), XXXII: 178-180.

[25]  Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Kari>m., hlm. 349.

[26]  Ibn Hazm, al-Muhalla> bi al-A<s\ar, hlm. 13.

[27]  M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, hlm. 196.

[28]  Ibid., hlm. 370.

[29]  Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 290-291.

[30]  Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Karim., hlm. 351.

[31]  Yusuf Qarda>wi>, Huda al-Isla>m fatawa> al-Mua>siro>>>h (Kairo: Da>r al-Afaq al-Gad, 1978), hlm. 407.

[32]  Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 80.

BAB V

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Ketentuan hukum perkawinan antaragama telah dinyatakan secara  tegas  dalam Al-Qur’an. Paling tidak ada tiga mainstream pemikiran dalam masalah ini, yaitu pertama mengharamkan secara mutlak perkawinan beda agama, kedua, membolehkan dengan syarat tertentu, dan ketiga membolehkan tanpa syarat, ketiga pendapat ini merupakan hasil interpretasi terhadap QS. al-Maidah (5): 5, QS. al-Baqarah (2): 22, dan QS. al-Mumtahanah (60): 10. Selain itu, juga berkenaan dengan pemahaman dan penafsiran terhadap term-term seperti ahli kitab, kafir dan musyrik.

Namun demikian, perkawinan beda agama tidak saja dapat difahami secara normative-teologis belaka, karena masalah ini terkait erat dengan factor-faktor sosiologis-kultural. Perkawinan beda agama di Indonesia (Inter-Faith Marriage) di Indonesia secara objektif-sosiologis adalah sesuatu yang wajar, mengingat penduduk Indonesia sangat pluralistic, baik dari segi suku, etnis, budaya, bahasa maupun agama, sedangkan pergaulan dan interaksi antar berbagai komunitas sangat intens, bebas dan terbuka. Sehingga, sangat besar kemungkinan akan terjadinya ketertarikan dan saling jatuh cinta antara dua insan yang berbeda tersebut.

Begitupun dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, secara eksplisit mengindikasikan bahwa perkawinan beda agama tidak dikehendaki di Indonesia. Ini terlihat dalam beberapa pasal seperti pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 huruf (f). begitupun dalam KHI buku I tentang perkawinan yaitu pasal 40, 44, dan 60. Ini menandakan kurangnya sensitivitas para pembuat kebijakan pada factor sosiologis.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ternyata perkawinan beda agama di Solo merupakan fenomena yang benar-benar nyata, mengingat kultur pluralistic kota ini, banyaknya budaya, etnis dan agama menjadi factor dominan penyebab banyaknya terjadi penikahan beda agama. Namun yang menarik berdasarkan wawancara terhadap salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Solo bahwasannya ijin untuk melakukan perkawinan beda agama sangatlah terjadi tetapi untuk perceraian yang berbeda agama belum pernah terjadi.

Sedangkan mengenai respon yang diberikan beberapa ulama’ di solo terhadap persoalan ini, hampir semua jawaban yang penulis dapatkan sangatlah normative. Karena bagi mereka persoalan product hukum agama haruslah difahami secara leterlek saja, karena keputusan Tuhan yang ada dalam Al-Qur’an merupakan keputusan final dalam persoalan apapun kecuali jika belum secara jelas tertera.

B.    SARAN

Dalam perkawinan beda agama, dengan memperhatikan kondisi pemeluk antar agama, saatnya untuk dilakukan penelitian ulang. Sehingga formulasi hukum Islam, di samping harus sesuai dengan ketentuan syari’ah, sekaligus menampung dimensi realitas sosiologis Indonesia yang majemuk. Termasuk jika memungkinkan memberikan lembaga terhadap mereka yang telah terlanjur menikah berbeda agama atau memiliki syarat untuk menikah berbeda agama.

Mengingat agama merupakan factor potensial untuk terjadinya disstabilitas dalam kerukunan serta dalam toleransi kehidupan beragama, maka disarankan agar pemerintah dapat segera mengadakan langkah-langkah ke arah penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan beda agama, khususnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 diharapakan agar mampu menampung unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama  dan dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ahmad, Amrullah (ed.), Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional Jakarta: Gema Insani Press, 1996

‘Alim, Yusuf Hamid, al-Maqa>s}id al-‘ammah li al-Sayri>’ah al-Islamiyyah,  USA: Internasional Graphics Printing Service, 1991

al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991

Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Maza>hib al-Arba’ah, IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1996

……….., Kita>b al-Fiqh ‘ala> maza>hib al-Arba’ah  Beirut: Dar al-Fikr, 1996

al-Mawardi, Abi Hasan ‘Ali, al-Nukat wa al-‘Uyu>t Tafsir al-Mawardi, jilid IV (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, t.t

an-Nadawi, Ali Ahmad, al-qawa>’id al-Fiqhiyyah,  Damaskus: Da>r al-Qalam, 1991

an-Na’iem, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKiS, 1997

As-Sabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam, Mekkah: Dar al-Qur’an, t.t

at-Tabari, Ibn Jari>r, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t

Azhary, Tahir, Bunga Rampai Hukum Islam, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1992

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000

Brenner, Suzanne April, The domestication of desire: Women, wealth, and modernity in Java, Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1998

Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988

El Fadl, Khaled M. Abou, Atas nama Tuhan; dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, R. cecep Lukman yasin (terj), Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2004

Eoh, Octavianus, Masalah Perkawinan Antara Dua Orang Yang Bebeda Agama Setelah Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Tesis Tidak Diterbitkan, Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM, 1990

Florida, Nancy K, Javanese literature in Surakarta manuscripts / Vol. 1 Introduction and manuscripts of the Karaton Surakarta, Ithaca: Cornell University, Southeast Asia Program (SEAP), 1993

…………………, Writing the past, inscribing the future: history as prophesy in colonial Java, Duke University Press, 1995

Fuaddudin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999

Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000

Hamidah, Tutik, Peraturan Perkawinan Antar Agama di Indonesia (Prespektif Muslim), Tesis Tidak Diterbitkan, Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2000

Haroen, Nasrun, Ushul Fikih I, Bandung: Logos, 1997

Hawari, Dadang, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yoyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1995

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Tintamas, 1986

Hazm, Ibnu, al-Muhalla bi  al-As|ar, IX (Beirut: dar al-kutub al-Ilmiyah, 1988

Hosen, Ibrahim, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003

I Doi, Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992

Ichtijanto, Perkawinan Campuran Dalam Negeri RI: Suatu Studi Ke arah Hukum Yang Dicita-Citakan, Jakarta: Hukum dan Pembangunan, 1993

Imaduddin, Abu al-Fida Isma’il Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azim, jilid III, t.tp: Dar Mishr li Thoba’ah, t.t

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqa>s}id al-syari>’ah, cet. I, Jakarta: amzah, 2009

Khalla>f, Abd. Wahab, Ushu>l al Fiqh, Kairo: Da>r al Qalam, 1978

Laporan Jurnalistik Kompas , Ekspedisi Bengawan Solo,  Kompas, 2009

Larson, George D, Prelude to revolution: Palaces and politics in Surakarta, 1912-1942 , Dordrecht, Holland and Providence, R.I., U.S.A.: Foris Publications, 1987

Majid, Nurcholis dkk, Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis,  Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 2003

Martin, Richard C. (ed.), Pendekatan dalam kajian Islam dalam studi Agama, terj. Zakiyuddin Bhaidhawi, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002

MD, Mahfud (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993

Miksic, John (general ed.), (2006) Karaton Surakarta. A look into the court of Surakarta Hadiningrat, central Java (First published: ‘By the will of His Serene Highness Paku Buwono XII’. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta, 2004

Misrawi, Zuhairi, Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme,  Jakarta; Fitrah, 2007

Moleong , Lexy J,  Metodologi Penelitian Kualitatif,  (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005

Mudzhar, M. Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: INIS, 1993

Nasution, Khoruddin, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan 1) Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim, Yogyakarta: Academia dan tazzafa, 2004

Qardawi, Yusuf,  Huda al-Isla>m fatawa al-Mua>siroh, Kairo: Dar al-Afaq al-Gad, 1978

Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1996

Ridha, Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Kari>m asy-Sahi>r bi Tafsir al-Mana>r, II (Beirut: Dar al-Fikr, t.t

Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Permasalahannya, Bandung: Pionir Jaya, 1986

Sa>biq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, II,  Cet. IV, Beirut: Da>r al-Fikr, 1983

Salam, Zarkasji Abdul, “Perkawinan Antar Orang Yang Berbeda Agama (Muslim Dengan Non Muslim)” dalam Jurnal Penelitian Agama,Th. IV,  No. 9 (Januari-April 1995)

Shihab, M. Quraish, Menabur Pesan Illahi, Al-Qur’an dan Dinamika kehidupan Masyarakat,  Jakarta: Lentera Hati, 2006

……………………., Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.10, Jakarta: Lentera Hari, 2002

……………………., Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoaan Umat, Bandung: Mizan, 1996

Sidharta, P. H, Undang-Undang Perkawinan ditinjau dari Segi Hukum Antar Tata Hukum Perdata Pada Dewasa Ini, Jakarta: Hukum dan Pembangunan, 1992

Siegel, James T , Solo in the new order: Language and hierarchy in an Indonesian city,  Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1986

Subrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1983

Surahman, Winarno, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali, 1989

Susanto, Edi, “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural: Upaya Strategis Menghindari Radikalisme” dalam KARSA: Jurnal Studi Keislaman, Vol. IX No. I April 2006, Pamekasan: STAIN Pamekasan, 2006

Sutton, Richard Anderson, Traditions of gamelan music in Java: musical pluralism and regional identity, CUP Archive, 1991

Syarifuddin, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993

Team Media, Amandemen UU Peradilan Agama (UU RI No. 3 Tahun 2006), Undang-undang Peradilan Agama (Nomor 7  Tahun 1989) dan Kompilasi Hukum Islam,  t.t: Media Centre, t.t

Tebba, Sudinnan (ed.), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara, Bandung: Mizan, 1993

Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993

Tim Penyusun, Library Research, Malang: IKIP Malang, 1993

Thaha, Abdul Azis, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Wahyudi, Yudian, Ushul fikih versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, cet. I, Yogyakarta: Nawesea Press, 2006

Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islam wa adillatuh, VII,  Beirut: Da>r al-Fikr, 1989

…………………, Ushu>l al-Fiqh al-Isla>mi, Jilid. II, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986

Zulkarnaen, Perkawinan Antar Agama di Indonesia Suatu Studi Yuridis, Jakarta: Ilmu dan Budaya, 1990

Maret 17, 2012 - Posted by | Karya Ilmiyah ku

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar